Tag Archives: Berita International

Trump Hentikan Operasi VOA, Karyawan Tak Bisa Bekerja

Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan dunia jurnalistik dengan membekukan pendanaan untuk lembaga penyiaran dan media pemerintah, termasuk Voice of America (VOA). Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan efisiensi besar-besaran yang terus diperluas oleh pemerintahannya.

Akibat keputusan ini, ratusan jurnalis dari berbagai media yang didanai pemerintah terpaksa cuti paksa, menyebabkan terhentinya sebagian besar operasional di media-media tersebut.

Media Pemerintah Lumpuh, Jurnalis Dipaksa Keluar dari Kantor

Keputusan ini berdampak pada sejumlah media lain yang dikelola pemerintah, termasuk Radio Free Asia dan Radio Free Europe. Para jurnalis menerima email pemberitahuan yang menginstruksikan mereka untuk tidak memasuki kantor serta mengembalikan kartu pers dan peralatan kerja yang telah diberikan.

Pada hari Jumat, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang memasukkan US Agency for Global Media (USAGM)—badan yang mengawasi media-media tersebut—ke dalam daftar lembaga yang dianggap tidak lagi dibutuhkan oleh pemerintah federal.

Pihak Gedung Putih menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa “uang pajak masyarakat tidak lagi digunakan untuk propaganda radikal.” Langkah ini mencerminkan perubahan drastis dalam kebijakan pemerintahan AS terhadap media yang sebelumnya berperan penting dalam menyebarkan pengaruh Amerika ke seluruh dunia.

Dampak Besar pada Media yang Berperan di Kancah Internasional

Selama puluhan tahun, VOA dan media pemerintah AS lainnya telah menjadi alat untuk menandingi propaganda dari Rusia dan China. Namun, dengan terhentinya pendanaan, peran strategis mereka kini terancam.

Dalam sebuah unggahan di media sosial, Direktur VOA, Michael Abramowitz, membenarkan bahwa ia termasuk di antara 1.300 karyawan yang terkena dampak kebijakan ini.

“VOA memang membutuhkan reformasi, dan kami telah bergerak ke arah itu. Namun, keputusan ini membuat VOA tidak dapat menjalankan misinya yang sangat penting,” ungkapnya.

Abramowitz menambahkan bahwa VOA memiliki jaringan penyiaran dalam 48 bahasa yang mampu menjangkau 360 juta orang di seluruh dunia setiap minggunya.

Salah satu pegawai VOA, yang tidak ingin disebutkan namanya, menyebut pengumuman ini datang secara tiba-tiba, membuat para jurnalis bingung apakah mereka masih bisa melanjutkan pekerjaan mereka atau tidak.

“Keputusan ini benar-benar menunjukkan betapa kacau dan tidak siapnya proses ini. Kami hanya bisa berasumsi siaran kami dibatalkan, tetapi tidak ada pemberitahuan resmi,” ujarnya.

“Hadiah Besar bagi Musuh-Musuh Amerika”

Presiden Radio Free Europe/Radio Liberty, Stephen Capus, menganggap pemotongan anggaran ini sebagai keuntungan besar bagi negara-negara yang selama ini menjadi rival Amerika Serikat.

“Ayatollah Iran, pemimpin Partai Komunis China, serta para otokrat di Moskow dan Minsk pasti akan merayakan kehancuran Radio Free Europe setelah 75 tahun berdiri,” tegas Capus dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, seorang pegawai Radio Free Asia menyatakan bahwa dampak kebijakan ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tetapi juga menyangkut keselamatan jurnalis yang bekerja di negara-negara berisiko tinggi.

“Kami memiliki reporter yang bekerja secara rahasia di negara-negara dengan sistem pemerintahan otoriter. Tanpa perlindungan dari lembaga media ini, mereka kini khawatir akan keselamatan mereka sendiri,” katanya.

Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pada staf yang bekerja di AS dengan visa kerja, karena jika mereka kehilangan pekerjaan, mereka berisiko dideportasi.

Protes dari Organisasi Kebebasan Pers

Keputusan Trump ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk organisasi advokasi Reporters Without Borders.

Kelompok tersebut menyatakan bahwa langkah ini “mengancam kebebasan pers di seluruh dunia dan merusak sejarah panjang AS dalam mendukung arus informasi yang bebas.”

Dengan pemotongan dana ini, masa depan media yang didanai pemerintah AS menjadi tidak pasti. Kebijakan ini bukan hanya menghentikan aktivitas jurnalisme yang telah berlangsung selama puluhan tahun, tetapi juga berpotensi melemahkan pengaruh AS di kancah internasional.

Damaskus Diserang! Israel Lancarkan Serangan, 1 Orang Meninggal

Ketegangan di Timur Tengah kembali meningkat setelah Israel melancarkan serangan udara ke ibu kota Suriah, Damaskus, pada Kamis (13/3/2025). Menteri Pertahanan Israel, Katz, mengonfirmasi bahwa target utama serangan tersebut adalah pusat komando kelompok Jihad Islam Palestina.

Serangan Udara di Damaskus, Satu Orang Tewas

Laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa serangan tersebut mengenai sebuah gedung yang diduga digunakan oleh Jihad Islam Palestina. Akibatnya, satu orang dilaporkan tewas, sementara beberapa lainnya mengalami luka-luka.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa serangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi Israel akan terus dilakukan, tidak hanya di Gaza tetapi juga di seluruh wilayah Suriah.

“Kami tidak akan memberikan kekebalan kepada siapa pun yang menyerang kami,” ujar Netanyahu.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel, Katz, menambahkan bahwa negaranya tidak akan membiarkan Suriah menjadi ancaman bagi keamanan nasional Israel.

Gedung Komando Jihad Islam Palestina Jadi Sasaran

Sebuah sumber dari Jihad Islam Palestina mengklaim bahwa gedung yang dihantam oleh jet tempur Israel merupakan fasilitas milik kelompok mereka. Serangan ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa, meskipun jumlah pastinya belum dikonfirmasi secara resmi.

Selain itu, kantor berita resmi Suriah, SANA, melaporkan bahwa tiga warga sipil turut menjadi korban dalam serangan tersebut, termasuk seorang wanita yang mengalami luka kritis.

Ketegangan yang Semakin Meningkat

Serangan udara ini terjadi di tengah konflik yang masih berkecamuk di Jalur Gaza, di mana Jihad Islam Palestina berperang bersama Hamas melawan Israel.

Israel telah melakukan serangkaian serangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi keamanannya, baik di Gaza maupun di wilayah lain, termasuk Suriah.

Situasi di Timur Tengah terus menjadi sorotan dunia, dengan konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Banyak pihak internasional mengkhawatirkan eskalasi lebih lanjut yang dapat memperburuk stabilitas di kawasan tersebut.

Aksi Penumpang Jetstar Gagalkan Usaha Remaja Bersenjata di Bandara

AVALON, AUSTRALIA – Kejadian mengejutkan terjadi di Bandara Avalon, Victoria, Australia, pada Kamis (6/3/2025) ketika seorang remaja berusia 17 tahun yang membawa senapan mencoba memaksa masuk ke pesawat Jetstar yang akan terbang menuju Sydney. Namun, upaya tersebut berhasil digagalkan oleh tiga penumpang yang bertindak cepat dan melumpuhkan remaja tersebut sebelum ia berhasil memasuki kabin pesawat.

Menurut laporan yang diterima dari The Independent, kejadian ini bermula saat remaja laki-laki tersebut memanjat pagar bandara dan berusaha naik ke pesawat melalui tangga depan, sebuah tindakan yang jelas melanggar prosedur keamanan bandara. “Remaja itu mencoba masuk ke pesawat dengan memanjat pagar dan naik tangga depan menuju kabin, ini adalah pelanggaran serius terhadap prosedur keamanan yang berlaku,” ujar seorang polisi setempat.

Beruntung, tiga penumpang yang berada di lokasi melihat aksi tersebut dan segera melawan remaja itu. Barry Clark, salah satu penumpang yang terlibat, menceritakan pengalamannya kepada ABC Radio Melbourne. Ia menjelaskan, “Kami menyadari senapan itu ada, dan saya takut senapan itu akan ditembakkan. Saya hanya bisa mendorongnya menjauh dan menyingkirkan senapan tersebut, lalu melemparkannya ke bawah tangga sebelum menahannya sampai polisi datang.”

Setelah penahanan oleh penumpang, polisi segera tiba di lokasi untuk mengamankan situasi. Pihak kepolisian belum mengungkapkan identitas remaja tersebut, karena ia masih di bawah umur. Meski demikian, mereka sedang menyelidiki motif di balik tindakannya dan bekerja sama dengan unit antiterorisme untuk mengungkap lebih lanjut.

Selain senapan, petugas juga menemukan dua tas di dalam mobil remaja tersebut, dan sebuah regu penjinak bom dikerahkan untuk memastikan keamanan, meskipun akhirnya tas tersebut dianggap aman. Kepala Polisi Victoria, Michael Reid, menyampaikan bahwa detektif sedang melakukan penyelidikan intensif untuk memastikan motif di balik upaya serangan ini, namun hingga saat ini belum ada keterangan resmi yang mengaitkan insiden tersebut dengan terorisme.

Seorang saksi yang terlibat dalam penanganan remaja tersebut, yang hanya diketahui dengan nama Woodrow, menggambarkan situasi tersebut dengan tegang. “Keributan terjadi saat semua penumpang sudah berada di pesawat, dan saya melihat pilot serta pria lain berusaha menahan remaja bersenjata itu,” ujarnya. Barry Clark kemudian mengambil tindakan dengan menyerang remaja tersebut, menjegalnya, dan berusaha melucuti senjata yang dibawanya.

Maskapai penerbangan Jetstar yang terlibat dalam insiden ini, mengonfirmasi bahwa mereka bekerja sama dengan polisi dan pihak bandara untuk menyelidiki lebih lanjut. “Keamanan penumpang dan awak pesawat adalah prioritas utama kami. Kami bisa memastikan tidak ada korban atau cedera yang terjadi dalam insiden ini,” kata seorang juru bicara Jetstar.

Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya kewaspadaan dan respons cepat dari semua pihak untuk menjaga keselamatan di bandara. Masyarakat setempat berharap kejadian seperti ini tidak terulang kembali, dan pihak berwenang dapat memastikan proses penyelidikan berjalan lancar demi keamanan bersama.

AS Lakukan Langkah Berani, Negosiasi Langsung dengan Hamas Terungkap

Amerika Serikat (AS) mengambil langkah yang tidak biasa dengan mengadakan negosiasi langsung secara rahasia dengan Hamas untuk membebaskan sejumlah warga AS yang disandera di Gaza. Langkah ini menjadi sebuah perubahan besar dalam kebijakan luar negeri AS, yang selama ini menghindari hubungan langsung dengan Hamas, kelompok yang telah terdaftar sebagai organisasi teroris oleh Departemen Luar Negeri AS sejak 1997. Menurut laporan Reuters pada Rabu (5/3/2025), utusan khusus AS untuk urusan sandera, Adam Boehler, telah melakukan pertemuan dengan perwakilan Hamas di Doha, Qatar, dalam beberapa pekan terakhir.

Namun, pertemuan ini menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang mewakili Hamas dalam pembicaraan tersebut. Meskipun demikian, Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Boehler diberi wewenang untuk berkomunikasi langsung dengan Hamas dalam upaya pembebasan sandera.

Sebelumnya, AS selalu menggunakan negara ketiga sebagai perantara dalam pembebasan sandera, seperti Qatar dan Mesir, tanpa melakukan kontak langsung dengan Hamas. Meskipun begitu, dengan negosiasi langsung ini, AS mengubah pendekatan tersebut, yang menambah dimensi baru dalam usaha pembebasan sandera dari tangan kelompok tersebut.

Di sisi lain, Presiden AS, Donald Trump, mengeluarkan peringatan keras terhadap Hamas melalui unggahan di media sosial. Trump menuntut agar semua sandera, termasuk yang sudah meninggal, segera dibebaskan. Ia juga menyampaikan ancaman tegas, “Bebaskan semua sandera sekarang juga, atau kalian akan HABIS!” Trump menegaskan bahwa ia telah mengirimkan bantuan yang dibutuhkan oleh Israel untuk menyelesaikan masalah ini, bahkan dengan mengatakan bahwa tidak ada anggota Hamas yang akan selamat jika mereka tidak mengikuti perintahnya.

Pernyataan keras tersebut langsung mendapat reaksi dari Hamas, yang mengecam ancaman Trump dan menganggap AS sebagai mitra dalam kejahatan terhadap rakyat Palestina. Di sisi lain, Israel, yang terlibat dalam pembicaraan ini, belum memberikan pernyataan jelas mengenai apakah mereka mendukung langkah AS dalam berkomunikasi langsung dengan Hamas.

Salah satu tujuan utama dari negosiasi ini adalah membebaskan Edan Alexander, seorang warga AS yang diyakini sebagai satu-satunya sandera AS yang masih hidup yang ditahan oleh Hamas. Keberadaan Alexander sebelumnya sempat terlihat dalam sebuah video yang dipublikasikan oleh Hamas pada November 2024.

Selain itu, perundingan ini juga menjadi bagian dari upaya untuk menyelesaikan masalah sandera secara lebih luas. Diharapkan ada kesepakatan yang lebih besar yang mencakup pembebasan sandera yang tersisa dan kemungkinan gencatan senjata jangka panjang, seperti yang sudah tercapai sejak 19 Januari 2025. Gencatan senjata ini mencakup pertukaran sandera dan tahanan, namun masih ada beberapa sandera yang belum dibebaskan.

Negosiasi ini menunjukkan langkah berani AS dalam upaya menyelesaikan konflik ini, meskipun situasi di Gaza tetap penuh tantangan dan ketegangan yang belum bisa diprediksi ke depannya.

Anggota Partai Demokrat Dikeluarkan Setelah Menghina Trump Selama Pidato Kenegaraan

Pada Selasa malam, 4 Maret 2025, Sidang Gabungan Kongres Amerika Serikat di Gedung Capitol, Washington DC, berlangsung dengan penuh ketegangan setelah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS dari Partai Demokrat, Al Green, diusir dari ruang sidang. Peristiwa ini terjadi setelah Green mengejek Presiden Donald Trump saat pidato kenegaraan pertamanya setelah menjabat kembali.

Presiden Trump, yang baru saja dilantik kembali pada 20 Januari 2025, memasuki ruang sidang pada sekitar pukul 21.15 waktu setempat. Sesaat setelah tiba, Trump memberikan gestur khasnya dengan mengepalkan tangan dan disambut tepuk tangan meriah dari sebagian besar penonton di ruang sidang.

Namun, sambutan tersebut tidak sepenuhnya positif. Beberapa anggota oposisi langsung melontarkan ejekan kepada Trump, termasuk seorang anggota DPR, Al Green. Green, yang berasal dari Texas, terlihat menunjuk-nunjuk Trump dengan ekspresi provokatif, yang langsung menarik perhatian. Sebuah laporan dari kantor berita AFP menampilkan foto yang menunjukkan aksi Green tersebut.

Sementara beberapa peserta lainnya memberikan tepuk tangan kepada Green, banyak pula yang mengecam tindakannya. Ketegangan semakin memuncak ketika Ketua DPR AS, Mike Johnson, menginstruksikan agar mereka yang dianggap melanggar kesopanan segera dikeluarkan dari ruang sidang. Tidak lama kemudian, Johnson memerintahkan agar Al Green diusir dari Sidang Gabungan Kongres. Seorang sersan pun segera menuntun Green keluar dari ruangan.

Pidato Trump dan Rencana “Membangun Kembali Amerika”

Pidato yang disampaikan Trump pada malam itu adalah yang pertama kalinya sejak ia kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Dalam pidato tersebut, Trump diperkirakan akan mengungkapkan berbagai rencana besar untuk memajukan negara dan mengembalikan kejayaan “Negeri Paman Sam.” Trump, yang dikenal dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya, menyatakan bahwa “impian Amerika tidak akan pernah bisa dihentikan,” menambahkan bahwa periode perubahan radikal baru saja dimulai.

Namun, insiden yang melibatkan Al Green ini menunjukkan bahwa ketegangan politik di Washington DC masih sangat terasa, dengan perselisihan yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif. Kejadian ini menjadi bukti jelas bahwa perpecahan di antara partai politik di AS terus berlanjut, meskipun Presiden Trump sudah kembali menjabat.

Donald Trump Akan Cabut Sanksi AS pada Rusia? Keputusan Mengejutkan!

Pemerintahan Presiden Donald Trump dikabarkan tengah menyusun langkah untuk mencabut sejumlah sanksi yang selama ini diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia. Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi Trump dalam membangun kembali hubungan diplomatik dengan Moskow serta mendorong upaya perdamaian di Ukraina. Informasi tersebut disampaikan oleh seorang pejabat AS serta sumber yang mengetahui kebijakan tersebut kepada Reuters, Selasa (4/3/2025).

Menurut sumber tersebut, Gedung Putih telah menginstruksikan Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan untuk menyusun daftar sanksi yang dapat dicabut atau dilonggarkan. Daftar tersebut nantinya akan menjadi bahan diskusi dalam pertemuan antara pejabat AS dan Rusia dalam beberapa hari ke depan. Tujuan utama pembicaraan ini adalah meningkatkan kerja sama diplomatik dan ekonomi antara kedua negara.

Laporan juga menyebutkan bahwa kantor urusan sanksi tengah menyusun proposal terkait pencabutan sanksi terhadap beberapa individu dan entitas tertentu, termasuk beberapa oligarki Rusia. Permintaan resmi dari Gedung Putih untuk menyusun dokumen tersebut menunjukkan keseriusan Trump dan para penasihatnya dalam mempertimbangkan kebijakan pelonggaran sanksi ini.

Belum Jelas Imbalan yang Diminta AS dari Rusia

Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai syarat yang akan diajukan AS kepada Rusia sebagai imbalan atas pencabutan sanksi tersebut. Pihak Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, maupun Kedutaan Besar Rusia di Washington belum memberikan komentar resmi terkait rencana ini.

Sebelumnya, Kremlin menggambarkan hubungan antara AS dan Rusia berada di titik terendah di bawah pemerintahan Joe Biden. Kebijakan Biden yang mendukung Ukraina melalui bantuan militer serta sanksi ekonomi terhadap Rusia memperburuk ketegangan antara kedua negara. Namun, sejak kembali menjabat sebagai Presiden AS, Trump berupaya mengubah arah kebijakan tersebut.

Langkah awal pendekatan ini terlihat dari komunikasi langsung antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 12 Februari lalu, yang kemudian disusul dengan pertemuan antara pejabat kedua negara di Arab Saudi dan Turki.

Dinamika Kebijakan Trump terhadap Rusia

Sikap Trump terhadap Rusia mengalami perubahan dalam beberapa bulan terakhir. Pada Januari, ia sempat mengancam akan memperketat sanksi terhadap Moskow jika Putin tidak menunjukkan itikad baik untuk menghentikan perang di Ukraina. Namun, baru-baru ini, pejabat Gedung Putih mulai mengindikasikan kemungkinan relaksasi sanksi.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam wawancaranya dengan Bloomberg Television pada 20 Februari, menyebut bahwa Rusia berpeluang mendapatkan keringanan sanksi tergantung pada sikapnya dalam negosiasi damai. Sementara itu, pada 26 Februari, Trump sendiri mengungkapkan kepada awak media bahwa pelonggaran sanksi terhadap Rusia “bisa saja terjadi di masa depan.”

Kemungkinan Kerja Sama Ekonomi dengan Rusia

Selain mempertimbangkan pencabutan sanksi, pemerintahan Trump juga tengah menjajaki kemungkinan kerja sama ekonomi dengan Rusia. Gedung Putih dikabarkan telah meminta rencana pelonggaran sanksi sebelum Trump memperpanjang status darurat terkait situasi di Ukraina. Status ini memberikan kewenangan kepada AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap individu dan aset tertentu yang terlibat dalam perang Rusia-Ukraina.

Meskipun belum jelas sanksi mana yang akan dicabut lebih dulu, ada kemungkinan Trump akan mengeluarkan perintah eksekutif guna memulai proses tersebut. Namun, beberapa pencabutan sanksi tertentu masih membutuhkan persetujuan dari Kongres.

Sejak invasi ke Ukraina pada 2022, Rusia mampu beradaptasi dengan membangun ekonomi berbasis industri pertahanan dan peningkatan belanja militer. Namun, sejumlah pakar menilai ekonomi Rusia tetap rentan dan memerlukan pelonggaran sanksi Barat untuk meringankan tekanan yang dihadapinya.

Kremlin sendiri telah menyatakan kesiapan untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan AS. Bahkan, pekan lalu, pemerintah Rusia mengungkapkan bahwa mereka memiliki cadangan logam tanah jarang dalam jumlah besar dan terbuka untuk kesepakatan eksplorasi bersama dengan AS.

Di sisi lain, Trump juga berusaha mencapai kesepakatan dengan Ukraina terkait sumber daya mineralnya. Namun, negosiasi ini menemui jalan buntu setelah perdebatan sengit antara Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, dalam pertemuan di Gedung Putih pada Jumat lalu.

Dengan berkembangnya wacana pencabutan sanksi ini, dunia kini menanti bagaimana langkah Trump dalam membangun kembali hubungan dengan Rusia, serta bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi dinamika geopolitik global, khususnya terkait konflik di Ukraina.

Tragedi Bom Bunuh Diri di Pakistan: Sekolah Pemimpin Taliban Jadi Sasaran

Pakistan kembali diguncang dengan teror bom bunuh diri yang menargetkan sebuah sekolah agama terkenal, Dar Ul Uloom Haqqania, yang selama ini dikenal sebagai tempat menimba ilmu bagi para pemimpin utama Taliban. Peristiwa tragis ini terjadi pada Jumat, 28 Februari 2025, di Akora Khattak, sekitar 60 kilometer timur Peshawar. Ledakan dahsyat tersebut menewaskan empat orang, termasuk Hamid Ul Haq, kepala sekolah Dar Ul Uloom Haqqania, yang diduga menjadi sasaran utama dalam serangan ini.

Insiden ini terjadi ketika para jemaah tengah bersiap melaksanakan shalat Jumat di masjid sekolah tersebut. Abdul Rasheed, kepala polisi distrik setempat, mengonfirmasi bahwa ledakan terjadi saat jemaah tengah berkumpul, dengan sebagian besar korban berada di shaf pertama. “Hamid Ul Haq telah menjadi martir dalam serangan ini, dan kami menduga dia adalah target utama,” ujar Abdul Rasheed. 13 orang lainnya mengalami luka-luka akibat bom tersebut.

Petugas kepolisian setempat, Noor Ali Khan, menjelaskan bahwa ledakan itu terjadi pada waktu yang sangat kritis, yaitu ketika para jemaah tengah bersiap melaksanakan shalat. Namun, belum dapat dipastikan apakah bom meledak saat jemaah sudah dalam posisi berdiri atau sebelum itu. Insiden ini jelas memperburuk situasi keamanan yang sudah sangat tegang di kawasan tersebut.

Dar Ul Uloom Haqqania sendiri adalah lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki sejarah panjang dan kontroversial. Kampus ini menampung sekitar 4.000 mahasiswa, dengan memberikan fasilitas makan, pakaian, dan pendidikan secara gratis. Namun, sekolah ini terkenal karena kaitannya yang erat dengan Taliban dan jaringan militan lainnya. Beberapa tokoh terkemuka, seperti pendiri Taliban Mullah Omar, yang memimpin perlawanan terhadap pasukan AS dan NATO di Afghanistan, dan Jalaluddin Haqqani, pendiri jaringan Haqqani yang dikenal atas serangan-serangan besar di Afghanistan, merupakan alumni dari Dar Ul Uloom Haqqania.

Sekolah ini, yang terletak di kawasan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan, memiliki sejarah dalam melahirkan banyak lulusan yang terlibat dalam konflik bersenjata. Seiring dengan kebangkitan Taliban di Afghanistan pada Agustus 2021, ketegangan kembali meningkat di perbatasan Afghanistan-Pakistan, dengan aktivitas militan yang kian meningkat. Pemerintah Pakistan menuduh Taliban Afghanistan membiarkan kelompok-kelompok militan menggunakan wilayah mereka untuk melancarkan serangan ke Pakistan. Namun, klaim ini selalu dibantah oleh pemerintah Taliban.

Hingga kini, belum ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri ini. Otoritas keamanan Pakistan masih melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap pelaku dan motif di balik serangan yang menargetkan institusi pendidikan ini. Peristiwa ini semakin memperburuk situasi keamanan di kawasan tersebut, yang sudah lama dilanda konflik.

Ramadhan 2025: Indonesia Ikuti Jadwal Tertunda Dibandingkan Negara-Negara ASEAN

Pemerintah Indonesia resmi mengumumkan bahwa awal Ramadhan 1446 Hijriah akan dimulai pada Sabtu, 1 Maret 2025. Keputusan ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang memulai ibadah puasa lebih awal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Kamboja, yang memilih untuk memulai pada Minggu, 2 Maret 2025. Pengumuman ini disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, setelah berlangsungnya sidang isbat yang diadakan pada Jumat, 28 Februari 2025.

Dalam konferensi persnya, Nasaruddin mengungkapkan bahwa hasil pemantauan hilal menunjukkan bahwa bulan sabit telah terlihat di beberapa titik di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. “Dengan ini, kami menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025,” ujar Nasaruddin. Keputusan tersebut tentunya menandai dimulainya bulan suci Ramadhan di Indonesia lebih awal daripada negara-negara tetangga.

Sementara itu, perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan ini juga terjadi di beberapa negara lainnya. Di Singapura, meskipun dilakukan pengamatan hilal, tidak ditemukan tanda-tanda bulan sabit yang terlihat. Mufti Singapura, Dr. Nazirudin Mohd Nasir, mengumumkan bahwa negara tersebut memutuskan untuk memulai puasa pada 2 Maret 2025. “Dengan bangga, saya mengumumkan bahwa hari pertama bulan Ramadhan di Singapura akan jatuh pada Minggu, 2 Maret 2025,” kata Nazirudin dalam sebuah video yang diunggah oleh Dewan Keagamaan Singapura (MUIS).

Hal yang serupa juga terjadi di Thailand, di mana pengamatan hilal di beberapa lokasi tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, Thailand, bersama dengan Malaysia dan Kamboja, memutuskan untuk memulai ibadah puasa pada 2 Maret 2025. Menurut Menteri Agama Indonesia, Nasaruddin Umar, perbedaan ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah perbedaan sudut elongasi dan ketinggian hilal yang dapat mempengaruhi hasil pengamatan di masing-masing negara.

“Meskipun negara-negara ini secara geografis berdekatan, posisi hilal bisa bervariasi, sehingga pengamatan yang dilakukan di setiap negara tidak selalu menghasilkan kesimpulan yang sama,” jelas Nasaruddin. Oleh karena itu, umat Muslim di berbagai negara disarankan untuk mengikuti keputusan otoritas keagamaan di masing-masing negara terkait penetapan awal Ramadhan.

Perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan ini menunjukkan betapa pentingnya ketelitian dalam pengamatan hilal, yang menjadi dasar bagi umat Muslim untuk memulai ibadah puasa. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan dalam waktu mulai puasa, esensi dari bulan suci Ramadhan tetaplah sama, yaitu sebagai waktu untuk menjalankan ibadah dengan penuh kesabaran dan ketaqwaan.

Korea Utara Uji Rudal Jelajah, Bukti Siap Serangan Balik?

Pyongyang kembali menunjukkan kekuatan militernya dengan meluncurkan serangkaian rudal jelajah strategis dalam latihan tempur yang berlangsung di Laut Kuning. Latihan ini diklaim sebagai bagian dari strategi pertahanan Korea Utara untuk memperkuat kemampuan serangan baliknya terhadap ancaman eksternal. Pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong-un, turut hadir secara langsung dalam latihan tersebut yang berlangsung pada Rabu (26/2), seperti dilaporkan oleh media pemerintah KCNA.

Menurut laporan tersebut, rudal yang diuji coba memiliki durasi terbang hingga 130 menit dan menempuh jarak sejauh 1.587 kilometer sebelum akhirnya mencapai sasaran dengan presisi tinggi. Pyongyang menegaskan bahwa uji coba ini menjadi sinyal kuat bagi negara-negara yang dianggap sebagai musuh, menegaskan kesiapan Korea Utara dalam mempertahankan kedaulatannya dengan berbagai opsi nuklir yang tersedia.

Gambar yang dirilis oleh media pemerintah memperlihatkan Kim Jong-un dengan teropong di tangannya, menyaksikan dengan seksama saat sebuah rudal menghantam target dan menyebabkan ledakan besar. Dalam pernyataannya, Kim Jong-un menekankan pentingnya memiliki kemampuan serangan yang kuat sebagai bentuk pertahanan terbaik. “Kemampuan serangan yang luar biasa adalah bentuk pencegahan paling sempurna,” tegasnya.

Ketegangan Meningkat di Semenanjung Korea

Ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pyongyang menuduh musuh-musuhnya, terutama Korea Selatan dan Amerika Serikat, sengaja menciptakan instabilitas keamanan melalui latihan militer bersama. Bulan depan, Seoul bersama Washington akan menggelar latihan gabungan bertajuk Freedom Shield, yang sering kali dianggap oleh Korea Utara sebagai simulasi invasi terhadap wilayahnya.

KCNA tidak memberikan rincian lokasi pasti uji coba rudal tersebut, tetapi laporan dari situs pemantau Korea Utara, NK News, menyebutkan bahwa kemungkinan besar peluncuran dilakukan di wilayah Nampho, sekitar 130 kilometer dari perbatasan dengan Korea Selatan.

Semenanjung Korea sendiri masih berada dalam status perang teknis sejak konflik 1950-1953 berakhir tanpa perjanjian damai, melainkan hanya gencatan senjata. Sepanjang tahun lalu, Korea Utara terus meningkatkan aktivitas militer dengan meluncurkan berbagai rudal balistik, meskipun tindakan ini bertentangan dengan resolusi PBB.

Dugaan Keterlibatan Korea Utara dalam Perang Rusia-Ukraina

Selain meningkatkan aktivitas militernya di Semenanjung Korea, Korea Utara juga diduga telah mengirim ribuan tentaranya ke Rusia untuk berpartisipasi dalam konflik di Ukraina. Laporan intelijen Amerika Serikat dan Korea Selatan mengindikasikan bahwa pasukan Korut mengalami kerugian besar dalam pertempuran tersebut.

Baru-baru ini, sumber intelijen Korea Selatan yang dikutip AFP menyebutkan bahwa lebih banyak pasukan Korea Utara telah dikirim ke Rusia, meskipun jumlah pastinya masih belum dapat dikonfirmasi. Laporan lain menunjukkan bahwa beberapa pasukan Korea Utara telah ditempatkan kembali di garis depan perang di Kursk setelah sebelumnya ditarik akibat mengalami kerugian signifikan.

Sementara itu, Kim Jong-un terlihat semakin aktif dalam mengawasi kesiapan militernya. Ia baru saja mengunjungi akademi militer besar di Korea Utara, di mana ia mendorong pasukannya untuk memahami dan memanfaatkan pengalaman perang modern demi meningkatkan efektivitas pertempuran. Meski dugaan keterlibatan Korea Utara dalam konflik Rusia-Ukraina terus menguat, hingga kini baik Pyongyang maupun Moskow belum memberikan konfirmasi resmi terkait partisipasi pasukan Korut di medan perang tersebut.

Pria Terjebak Penipuan Rp 451 Juta Akibat Niat Baik Bantu “Pacar” LDR

Seorang pria di Shanghai baru-baru ini menjadi korban penipuan daring yang menguras tabungannya hampir 200.000 yuan atau sekitar Rp 451 juta. Korban, yang bernama Tuan Liu, merasa dirinya menjalin hubungan asmara jarak jauh (LDR) dengan seorang wanita yang dia kira bernama Nona Jiao. Namun, kenyataannya, sosok yang ia cintai hanya sebuah rekayasa digital yang diciptakan dengan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Kasus ini terungkap setelah penyelidikan oleh pihak berwenang China yang disiarkan oleh CCTV pada Rabu (26/2/2025). Menurut laporan tersebut, pelaku penipuan memanfaatkan perangkat lunak AI generatif untuk menciptakan gambar dan video seorang wanita yang tampaknya nyata, namun sebenarnya adalah fiksi. Wanita fiktif bernama Nona Jiao ini dikirimkan kepada Tuan Liu melalui berbagai video dan foto yang semuanya dihasilkan oleh teknologi AI, yang semakin sulit dibedakan dari gambar asli.

Tuan Liu, yang merasa dirinya sedang menjalin hubungan cinta yang serius, kemudian ditipu untuk mentransfer sejumlah uang besar ke rekening yang dikira milik Nona Jiao. Penipu yang cerdik ini bahkan menyampaikan alasan mengapa wanita itu membutuhkan uang. Mereka mengaku bahwa Nona Jiao ingin membuka usaha dan membantu keluarga yang sedang menghadapi masalah kesehatan. Untuk memperkuat kebohongan, mereka juga membuat kartu identitas palsu serta dokumen medis yang seolah-olah sah.

Selama penipuan berlangsung, Tuan Liu tidak pernah bertemu langsung dengan Nona Jiao, dan ia hanya berinteraksi melalui media digital yang dikirimkan oleh pelaku. Kejadian ini menunjukkan betapa canggihnya teknologi AI kini dalam menciptakan dunia maya yang tampak begitu nyata, tetapi pada kenyataannya sangat berbahaya. Foto-foto yang digunakan dalam penipuan ini mencakup potret wanita fiktif dengan latar belakang palet cat air dan gambar lainnya yang tampak tak terbantahkan keasliannya.

Kasus ini menjadi bagian dari tren kejahatan siber global yang semakin meningkat, terutama yang melibatkan AI generatif. Dengan kemampuan AI yang semakin berkembang, kini sangat mudah bagi pelaku kejahatan untuk membuat teks, gambar, hingga video yang hampir tidak dapat dibedakan dari kenyataan. Akibatnya, korban-korban baru terjebak dalam penipuan yang dilakukan secara lebih rapi dan meyakinkan.

Terkait hal ini, perusahaan media sosial besar asal Amerika, Meta, baru-baru ini mengeluarkan peringatan kepada penggunanya untuk lebih berhati-hati terhadap penipuan dengan modus asmara yang melibatkan AI generatif. Meta menyoroti tren penipuan ini, di mana pelaku berpura-pura menjalin hubungan romantis dengan korban, dan akhirnya meminta uang dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Dengan meningkatnya penggunaan teknologi AI dalam penipuan daring, penting bagi setiap individu untuk lebih waspada dan berhati-hati dalam berinteraksi di dunia maya.