Seorang model asal Brasil, Liziane, baru-baru ini menceritakan pengalaman mengerikan yang ia alami saat berlibur di Marrakesh, Maroko. Pengalaman tersebut berubah menjadi mimpi buruk setelah ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan merekam aksi seorang polisi. Namun, kisahnya tidak berakhir di sana—selama berada di penjara, ia menghadapi perlakuan yang jauh lebih buruk dan mengungkapkan momen yang sangat memalukan dalam hidupnya.
Kejadian bermula ketika Liziane dan suaminya, Toni, sedang berlibur di Marrakesh pada Oktober 2024. Saat berada di luar hotel, tas mereka dirampas, dan di dalamnya terdapat ponsel kerja suaminya. Mereka mencoba meminta bantuan polisi untuk mengambil ponsel tersebut, namun petugas yang datang tampak mengabaikan mereka. Dalam upaya untuk mengungkapkan kekecewaannya, Liziane mulai merekam petugas menggunakan ponsel yang tersisa. Namun, tindakan ini malah berujung pada penangkapan dirinya.
Liziane, yang tidak bisa berbahasa Arab atau Prancis, hanya dapat mengandalkan Google Translate untuk berkomunikasi dengan polisi. Meski berusaha menjelaskan situasi, rekamannya justru membuatnya semakin dicurigai. Polisi mencurigai bahwa Liziane adalah seorang transgender, karena penampilannya yang dianggap tidak biasa. Akibatnya, ia dipaksa untuk membuktikan jenis kelaminnya dengan cara yang sangat memalukan. Liziane mengatakan bahwa ia diminta untuk membuka pakaian di depan beberapa petugas, baik pria maupun wanita, untuk memeriksa tubuhnya.
Selama di penjara, kondisi Liziane semakin buruk. Ia dipindahkan dari satu sel ke sel lainnya, dan setiap tempat yang ia tempati semakin sempit dan tidak layak huni. “Di kamar kecil itu, seharusnya hanya ada 10 orang, tetapi kenyataannya ada 20. Ada serangga di mana-mana, lalat berterbangan, dan tidak ada ventilasi, tetapi orang-orang tetap merokok di dalam,” ujarnya menggambarkan kondisi di dalam penjara. Liziane juga mengungkapkan bahwa suhu di penjara berubah drastis, dari sangat panas menjadi sangat dingin, dan hanya ada satu kali makan sehari berupa roti.
Setelah satu setengah hari, Liziane dipindahkan ke penjara yang lebih besar, namun kondisinya tetap mengerikan. “Kami harus tidur di lantai, dan kamar mandi hanya berupa lubang di lantai. Tidak ada kenyamanan sama sekali,” tambahnya. Meskipun kondisi fisik dan mentalnya semakin tertekan, Liziane akhirnya dibebaskan setelah menghabiskan sebulan di penjara.
Kisah Liziane ini menjadi peringatan keras tentang bahaya yang bisa dialami wisatawan di luar negeri, serta perlunya komunikasi yang lebih baik antara pihak berwenang dan turis. Sementara itu, kejadian ini juga memunculkan pertanyaan mengenai perlakuan terhadap wisatawan dan hak-hak mereka, khususnya dalam kasus penahanan yang tidak sesuai prosedur.