Baru-baru ini, media sosial dihebohkan oleh curhatan seorang selebgram berinisial SSA yang membagikan kisah pahit perselingkuhan suaminya. SSA mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut terjadi ketika dirinya tengah menjalankan ibadah umrah di Arab Saudi.
Kisah perselingkuhan ini terbongkar berkat putra sulung SSA yang berusia 14 tahun, yang menemukan pesan-pesan tak pantas antara sang ayah dan wanita lain di ponselnya.
Melalui akun Instagramnya, SSA menulis, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Halo semuanya, aku ingin berbagi ini bukan untuk membuka aib keluarga, melainkan sebagai peringatan sosial bagi suamiku B**** (@bioo) dan wanita yang terlibat, M** A.”
Menanggapi situasi seperti ini, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menjelaskan bahwa dampak psikologis dari perselingkuhan dapat memengaruhi korban, baik pasangan maupun anak-anak yang terlibat. Sari menuturkan bahwa trauma akibat perselingkuhan dapat berkisar dari ringan hingga berat, tergantung pada bagaimana korban menerima dan menghadapi kejadian tersebut.
“Perselingkuhan seringkali menimbulkan trust issues bagi korbannya. Bukan hanya terhadap pelaku, tetapi juga bisa mengurangi kepercayaan korban pada orang-orang yang ia temui di kemudian hari, membuatnya sulit untuk mempercayai orang lain,” jelas Sari ketika dihubungi pada Rabu (6/11/2024).
Psikolog lain, Salma Ghina Sakinah Safari, menambahkan bahwa efek dari perselingkuhan dapat menyebabkan trauma emosional mendalam. Korban mungkin merasa kehilangan harga diri, merasa dikhianati, dan bahkan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri serta pasangan.
“Kondisi ini bisa memicu gejala seperti depresi, kecemasan, stres pasca trauma, dan masalah kesehatan fisik,” terang Ghina. Banyak korban juga mengalami gejala mirip PTSD, seperti kilas balik emosional, serangan panik, sulit tidur, dan mimpi buruk.
Ghina menjelaskan bahwa perselingkuhan biasanya terjadi karena kombinasi faktor personal, dinamika dalam hubungan, dan pengaruh lingkungan. Berdasarkan teori relationship dissatisfaction, ketidakpuasan dalam komunikasi, kasih sayang, dan keintiman sering menjadi pemicu utama.
“Faktor situasional juga dapat meningkatkan risiko perselingkuhan, misalnya bekerja di lingkungan yang melibatkan banyak interaksi dengan lawan jenis atau aktivitas yang mempertemukan seseorang dengan orang-orang baru,” tambahnya.
Selain itu, faktor kepribadian seperti narsisme juga memainkan peran penting. Menurut Ghina, orang dengan sifat narsistik cenderung merasa berhak mendapatkan perhatian berlebih dan mencari validasi dari pihak lain, sehingga lebih rentan untuk berselingkuh.