GAZA – Israel dan Amerika Serikat dilaporkan sedang mengevaluasi rencana untuk mengerahkan perusahaan tentara bayaran gabungan dari Amerika dan Israel guna mengendalikan wilayah Gaza.
Tentara bayaran ini dilaporkan telah mulai bekerja dengan menerapkan pemeriksaan biometrik terhadap warga Palestina. Tindakan ini disertai ancaman penangguhan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang menolak berpartisipasi.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh jurnalis Israel, Shlomi Eldar, awal minggu ini, rencana tersebut melibatkan desa Al-Atatra di wilayah barat laut Gaza. Dalam program percontohan tersebut, sekitar 1.000 tentara bayaran swasta akan membentuk komunitas tertutup di Gaza, di mana mereka akan memantau dan mengendalikan aktivitas warga dengan menggunakan sistem identifikasi biometrik.
Menurut sumber dari Middle East Monitor, rencana ini dimulai dengan membersihkan area dari pejuang Palestina dan Hamas oleh Pasukan Pendudukan Israel. Setelah itu, tentara bayaran akan membangun dinding pemisah untuk mengisolasi kawasan tersebut. Hanya warga yang terdaftar dalam sistem biometrik yang diizinkan untuk masuk dan keluar.
Bantuan kemanusiaan, termasuk makanan dan obat-obatan, juga akan tergantung pada kepatuhan terhadap sistem biometrik. Warga yang menolak mengikuti prosedur ini akan diputus aksesnya dari bantuan penting.
Rencana ini mengalokasikan dana sebesar USD 90 juta untuk mendukung penduduk dalam membangun kembali rumah mereka. Selain itu, seorang pemimpin lokal yang ditunjuk, atau “syekh lokal”, akan bertindak sebagai kepala dewan di zona tersebut.
Global Development Company (GDC), perusahaan keamanan swasta yang memimpin proyek ini, menyebut dirinya sebagai “Uber untuk zona perang.” Didirikan oleh Mordechai Kahana, pengusaha Amerika-Israel, perusahaan ini melibatkan mantan pejabat militer tinggi dari Israel serta mantan anggota militer dan intelijen Amerika.
Dalam pernyataan resmi, GDC mengklaim bahwa mereka telah mengembangkan strategi yang aman untuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza. Perusahaan ini akan mengerahkan subkontraktor keamanan dari Amerika yang sudah berpengalaman dalam operasi internasional, dengan standar tinggi terkait hak asasi manusia dan kepekaan budaya.
GDC juga menyebutkan bahwa mereka telah mengadakan diskusi dengan pihak Israel, termasuk Kementerian Pertahanan Israel, Pasukan Pertahanan Israel, dan Kantor Perdana Menteri, untuk merancang inisiatif ini. Tujuan utama rencana ini adalah memastikan distribusi bantuan kemanusiaan tidak disalahgunakan oleh Hamas atau kelompok lainnya untuk dijual di pasar gelap.
Meskipun rencana ini telah mendapatkan dukungan dari pemerintahan Biden dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, pelaksanaannya masih memerlukan persetujuan resmi dari pemerintah AS dan Israel. Sebagai perusahaan keamanan swasta, GDC juga harus mendapatkan persetujuan dari Senat AS untuk menyediakan layanan bersenjata kepada pemerintah Israel.
Kabinet Israel dilaporkan telah membahas rencana tersebut, dengan kemungkinan pengesahan program percontohan dalam dua bulan mendatang.