Tag Archives: China

Industri Fiksi Ilmiah China Melesat, Raup Pendapatan Fantastis di 2024

Industri fiksi ilmiah di China terus menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan, dengan total pendapatan mencapai 108,96 miliar yuan atau sekitar Rp249 triliun pada 2024, menurut laporan terbaru dari Pusat Penelitian Fiksi Ilmiah China. Data ini dipublikasikan dalam Konvensi Fiksi Ilmiah China 2025, yang menyoroti kontribusi berbagai sektor dalam perkembangan genre ini.

Orisinalitas menjadi faktor utama yang mendorong industri ini, terutama dalam literatur, produk derivatif, dan sektor pariwisata bertema. Laporan tersebut mencakup lima sektor inti, yaitu literatur, film dan serial televisi, gim video, produk derivatif, serta pariwisata bertema, yang terus mengalami kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Literatur fiksi ilmiah mempertahankan tren positifnya sejak 2017, dengan pendapatan mencapai 3,51 miliar yuan pada 2024, meningkat 10,7 persen secara tahunan. Di sisi lain, film dan serial televisi bergenre fiksi ilmiah membukukan pendapatan sebesar 6,71 miliar yuan, dengan lonjakan signifikan pada serial mikro serta video berdurasi pendek hingga menengah.

Sektor gim video menjadi penyumbang terbesar dengan total pendapatan 71,81 miliar yuan, mengalami peningkatan pesat dari segi kualitas dan inovasi. Sementara itu, produk derivatif mencatatkan pendapatan 2,53 miliar yuan, tumbuh 11 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Pariwisata bertema juga berkembang pesat, meraih pendapatan 24,4 miliar yuan, didorong oleh meningkatnya minat masyarakat terhadap taman hiburan bertema fiksi ilmiah. Secara keseluruhan, industri fiksi ilmiah China telah menjadi pilar pertumbuhan global, dengan Pusat Penelitian Fiksi Ilmiah China yang didirikan sejak 2020 terus memberikan kontribusi dalam pengembangan kebijakan dan penelitian akademis di sektor ini.

Rusia dan China Diskusikan Masa Depan Hubungan Bilateral di Era Kepemimpinan Trump

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping mengadakan pertemuan virtual yang berlangsung lebih dari satu setengah jam. Dalam diskusi tersebut, mereka mengeksplorasi potensi penguatan hubungan bilateral di tengah perubahan kepemimpinan di Amerika Serikat setelah pelantikan Donald Trump.

Pertemuan ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global, khususnya pasca-invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Sejak insiden tersebut, hubungan antara Rusia dan China semakin erat, di mana China memainkan peran penting sebagai mitra utama Rusia dalam bidang energi dan teknologi. Hal ini menegaskan upaya kedua negara untuk memperkokoh kerja sama dalam menghadapi tekanan internasional, terutama dari negara-negara Barat.

Xi Jinping dalam pembicaraan tersebut menyoroti pentingnya memperdalam kerja sama strategis guna menghadapi ketidakpastian global. Ia menyatakan komitmen untuk meningkatkan hubungan Rusia-China ke level yang lebih tinggi dan menekankan perlunya kerja sama erat dalam menghadapi tantangan internasional. Hal ini menunjukkan keseriusan kedua negara dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Eurasia.

Di sisi lain, Putin menyambut baik langkah Trump yang menunjukkan keinginan untuk berdialog dengan Moskow. Meskipun nama Trump tidak disebutkan secara eksplisit dalam diskusi, kedua pemimpin mengindikasikan kesiapan untuk membangun hubungan saling menguntungkan jika peluang tersebut muncul. Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat ketegangan, Rusia dan China tetap terbuka untuk berinteraksi dengan pemerintahan baru AS.

Statistik menunjukkan bahwa perdagangan antara Rusia dan China mencapai rekor tertinggi sebesar $240 miliar pada tahun 2023, meningkat lebih dari 64% sejak 2021. Fakta ini mencerminkan bahwa meskipun Rusia menghadapi sanksi internasional, hubungan ekonomi kedua negara terus berkembang secara signifikan. Hal ini menegaskan peran penting kerja sama ekonomi dalam memperkuat hubungan bilateral mereka.

Melalui pertemuan ini, diharapkan hubungan Rusia dan China akan terus berkembang meskipun menghadapi berbagai tantangan eksternal. Kerja sama erat antara kedua negara diyakini mampu memberikan kontribusi pada stabilitas kawasan dan menyelesaikan berbagai isu global yang kompleks. Keberhasilan mempertahankan hubungan ini akan menjadi tolok ukur penting bagi kekuatan aliansi strategis di masa mendatang.

Rusia Dan China Bahas Nasib Hubungan Mereka Di Era Presiden Trump

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping mengadakan pembicaraan melalui video yang berlangsung lebih dari satu setengah jam. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas prospek hubungan bilateral di tengah pemerintahan baru Donald Trump di Amerika Serikat, yang dilantik sehari sebelumnya.

Pertemuan ini terjadi dalam konteks ketegangan global yang meningkat, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Sejak saat itu, hubungan antara Rusia dan China semakin erat, dengan China menjadi salah satu mitra utama Rusia dalam sektor energi dan teknologi. Ini menunjukkan bahwa kedua negara berusaha untuk memperkuat aliansi mereka sebagai respons terhadap tekanan internasional, terutama dari negara-negara Barat.

Dalam percakapan tersebut, Xi Jinping menekankan pentingnya memperdalam kerja sama strategis antara kedua negara untuk menghadapi ketidakpastian global. Ia menyatakan harapannya untuk membawa hubungan Rusia-China ke tingkat yang lebih tinggi dan menekankan perlunya saling mendukung dalam menghadapi tantangan internasional. Ini mencerminkan komitmen kedua pemimpin untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan Eurasia.

Sementara itu, Putin menyambut baik niat Trump untuk membuka dialog dengan Moskow. Meskipun tidak secara langsung menyebut nama Trump selama pertemuan, keduanya mengisyaratkan bahwa mereka siap untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan jika ada kesempatan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketegangan, kedua negara tetap terbuka untuk berkomunikasi dengan pemerintahan baru AS.

Data menunjukkan bahwa perdagangan antara Rusia dan China mencapai rekor tertinggi sebesar $240 miliar pada tahun 2023, meningkat lebih dari 64% sejak 2021. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sanksi internasional terhadap Rusia, hubungan ekonomi antara kedua negara terus berkembang pesat. Ini mencerminkan bagaimana kedua negara dapat saling mendukung dalam situasi sulit.

Dengan adanya pembicaraan ini, semua pihak berharap agar hubungan Rusia-China dapat terus berkembang meskipun ada tantangan dari luar. Diharapkan bahwa kerjasama yang erat antara kedua negara akan memberikan stabilitas di kawasan dan membantu mengatasi isu-isu global yang kompleks. Keberhasilan dalam mempertahankan hubungan ini akan menjadi indikator penting bagi kekuatan aliansi strategis di masa depan.

China Menyatakan Keprihatinan Atas Penarikan AS Dari Perjanjian Paris

Pemerintah China mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk menarik kembali negara tersebut dari Perjanjian Paris. Langkah ini diambil hanya beberapa jam setelah Trump dilantik untuk masa jabatan keduanya, dan menandai momen penting dalam dinamika global terkait perubahan iklim.

Penarikan AS dari Perjanjian Paris diumumkan melalui perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada 20 Januari 2025. Dalam pernyataannya, Trump menyebut perjanjian tersebut sebagai “tidak adil” dan berpotensi merugikan ekonomi AS. Keputusan ini mengingatkan pada langkah serupa yang diambilnya pada tahun 2017, yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Biden. Ini menunjukkan bahwa kebijakan iklim dapat menjadi isu politik yang sensitif dan berubah-ubah tergantung pada kepemimpinan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, menyatakan bahwa penarikan tersebut menunjukkan kurangnya komitmen AS terhadap tanggung jawab global dalam menghadapi perubahan iklim. China, sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, merasa bahwa kolaborasi internasional sangat penting untuk mencapai tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca. Ini mencerminkan pandangan bahwa perubahan iklim adalah tantangan global yang memerlukan kerjasama dari semua negara.

Keputusan ini diperkirakan akan memperburuk tantangan dalam upaya global untuk membatasi pemanasan global dan mencapai target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Banyak negara kini khawatir bahwa tanpa partisipasi aktif AS, upaya untuk mengurangi emisi karbon akan terhambat. Ini menunjukkan bahwa tindakan satu negara dapat memiliki dampak luas terhadap keseluruhan upaya internasional dalam menangani isu lingkungan.

Penarikan AS juga dikhawatirkan akan berdampak negatif pada pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada dukungan internasional untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Negara-negara ini mungkin menghadapi kesulitan lebih besar dalam menjalankan program-program mitigasi dan adaptasi tanpa adanya komitmen dari negara-negara besar seperti AS. Ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara dengan sumber daya terbatas dalam menghadapi krisis iklim.

Dengan keputusan ini, semua pihak berharap agar komunitas internasional dapat tetap bersatu dalam menghadapi tantangan perubahan iklim meskipun terdapat perbedaan kebijakan antarnegara. Diharapkan bahwa negara-negara lain akan terus berkomitmen pada Perjanjian Paris dan mencari cara untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih berkelanjutan. Keberhasilan dalam menjaga kerjasama global akan menjadi indikator penting bagi upaya kolektif dalam memerangi perubahan iklim di tahun-tahun mendatang.

Gempa Hebat Guncang Tibet, Korban Tewas Meningkat Jadi 53, Dampaknya Terasa di 3 Negara

BEIJING – Pada hari Selasa, 7 Januari 2025, gempa bumi berkekuatan 6,8 magnitudo mengguncang wilayah Tibet, China. Awalnya, jumlah korban tewas tercatat sembilan orang, namun jumlah tersebut terus meningkat menjadi 53 orang. Banyak bangunan di daerah tersebut yang roboh akibat getaran gempa. Gempa ini tidak hanya terasa di Tibet, tetapi juga di negara-negara tetangga seperti Nepal, Bhutan, dan India. Berdasarkan data dari Pusat Jaringan Gempa Bumi China (CENC), gempa terjadi sekitar pukul 09.05 pagi waktu setempat dengan episentrum di Tingri, sebuah daerah pedesaan yang juga dikenal sebagai pintu gerbang utara menuju Gunung Everest. Versi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) mencatat gempa ini dengan magnitudo 7,1. Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa 53 orang telah tewas dan 62 orang lainnya terluka di wilayah Tibet.

Bagian barat daya China, Nepal, dan India utara memang merupakan wilayah yang sering dilanda gempa bumi, yang disebabkan oleh tabrakan lempeng tektonik India dan Eurasia. Sebuah gempa dengan magnitudo 7,8 pernah melanda dekat Kathmandu pada tahun 2015, yang menewaskan hampir 9.000 orang dan melukai ribuan lainnya. Gempa tersebut tercatat sebagai salah satu yang paling mematikan di Nepal, dengan 18 korban ditemukan di base camp Gunung Everest akibat longsoran salju. Pusat gempa kali ini terletak sekitar 80 km dari Gunung Everest, gunung tertinggi di dunia yang menjadi tujuan populer bagi pendaki dan penjelajah alam. Musim dingin di Nepal bukanlah waktu yang ideal bagi pendaki, dengan seorang pendaki asal Jerman menjadi satu-satunya yang memiliki izin untuk mendaki Everest. Dia telah meninggalkan base camp setelah gagal mencapai puncak, menurut keterangan dari Lilathar Awasthi, seorang pejabat Departemen Pariwisata Nepal.

Otoritas Pengurangan dan Manajemen Risiko Bencana Nasional Nepal (NDRRMA) melaporkan bahwa gempa tersebut terasa di tujuh distrik perbukitan yang berbatasan langsung dengan Tibet. Meskipun belum ada laporan resmi mengenai korban jiwa atau kerusakan di Nepal, NDRRMA mengerahkan tim untuk mencari informasi lebih lanjut. Banyak desa di daerah perbatasan Nepal yang sulit dijangkau, dengan akses hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Dampak gempa terasa kuat di seluruh wilayah Shigatse di Tibet, yang dihuni oleh sekitar 800.000 orang. Shigatse adalah kota yang dikelola oleh Panchen Lama, salah satu tokoh agama Buddha Tibet. Presiden China, Xi Jinping, meminta agar upaya pencarian dan penyelamatan dilakukan dengan maksimal untuk mengurangi jumlah korban, serta memastikan pengungsi dapat dipindahkan dengan aman selama musim dingin.

Di desa-desa di Tingri, yang terletak dekat episentrum, guncangan yang kuat terjadi disertai dengan gempa susulan yang intensitasnya mencapai 4,4 magnitudo. Video yang beredar di media sosial menunjukkan kerusakan parah, dengan toko-toko yang hancur dan puing-puing berserakan di jalanan kota Lhatse. Melalui citra satelit dan analisis visual, dapat dipastikan bahwa lokasi tersebut benar-benar terkena dampak langsung dari gempa. Tiga kota dan 27 desa yang terletak dalam radius 20 km dari pusat gempa memiliki total populasi sekitar 6.900 orang, menurut laporan Xinhua. Pejabat setempat kini bekerja sama dengan kota-kota terdekat untuk menilai dampak lebih lanjut dan mendata jumlah korban.

Getaran gempa juga dirasakan jauh dari pusat kejadian. Di ibu kota Nepal, Kathmandu, yang terletak sekitar 400 km dari pusat gempa, warga berlarian meninggalkan rumah mereka karena khawatir akan adanya gempa susulan. Selain itu, gempa juga mengguncang ibu kota Bhutan, Thimphu, serta wilayah Bihar di India utara yang berbatasan dengan Nepal. Meskipun demikian, hingga kini belum ada laporan tentang kerusakan besar atau kehilangan harta benda di India.

Perluas Dominasi Negara China Andalkan Perang Siber Dan Psikologis

Pada tanggal 21 Desember 2024, muncul laporan baru yang mengungkapkan strategi terbaru yang digunakan oleh China untuk memperluas pengaruh globalnya. Selain kekuatan militer dan ekonomi yang semakin besar, China kini mengandalkan perang siber dan psikologis sebagai senjata baru untuk mendominasi arena internasional. Langkah ini diyakini akan menjadi bagian penting dari kebijakan luar negeri negara tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia modern.

Perang siber telah menjadi salah satu taktik utama yang digunakan oleh China untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi globalnya. Dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat, China telah mengembangkan kemampuan serangan siber yang canggih untuk memata-matai negara-negara pesaing, merusak infrastruktur kritis, serta mempengaruhi opini publik melalui kampanye informasi. Para pakar menyebutkan bahwa China menggunakan perang siber untuk mengakses data penting dan menciptakan ketidakstabilan di negara-negara yang dianggap sebagai rival, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Selain perang siber, China juga memanfaatkan strategi psikologis untuk memperluas dominasi globalnya. Melalui pengaruh media sosial dan penyebaran narasi tertentu, negara ini berusaha membentuk opini publik di seluruh dunia. Tak hanya itu, China juga menginvestasikan sumber daya dalam memengaruhi wacana internasional dengan tujuan membangun citra positif dan melemahkan kepercayaan terhadap negara-negara besar lainnya. Para ahli hubungan internasional menilai, langkah ini menunjukkan bahwa China tidak hanya bertarung di medan perang tradisional, tetapi juga di ruang informasi.

Strategi perang siber dan psikologis China ini menimbulkan berbagai reaksi dari negara-negara besar. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, mulai memperketat keamanan dunia maya dan memperkuat sistem pertahanan informasi untuk melawan potensi ancaman yang datang dari China. Sementara itu, beberapa negara berkembang mulai merasakan dampak dari pengaruh psikologis China, baik dalam hal ekonomi maupun politik.

Dengan terus memperluas pengaruh melalui teknologi dan strategi informasi, China juga berusaha memperkuat posisinya di arena diplomasi global. Langkah ini termasuk memperkenalkan berbagai inisiatif, seperti Belt and Road Initiative (BRI), yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas antara China dan negara-negara lain, serta memperluas pengaruh ekonominya. Keberhasilan strategi ini diyakini akan semakin memperkokoh dominasi China di panggung dunia pada tahun-tahun mendatang.

4 Bahaya Intai Ekonomi Indonesia Dari Kobaran Perang Dagang Trump Ke China Cs

Jakarta – Perang dagang yang kembali menghangat antara Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump dan China serta negara-negara besar lainnya memunculkan sejumlah dampak negatif yang dapat mengancam ekonomi Indonesia. Kebijakan proteksionisme yang diperkenalkan Trump diperkirakan dapat menambah tantangan bagi ekonomi global, termasuk Indonesia. Berikut adalah empat bahaya yang mengintai ekonomi Indonesia.

Pertama, ketegangan perdagangan yang meningkat antara AS dan China berpotensi mengganggu jalur perdagangan internasional, termasuk ekspor Indonesia. China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, dapat menerapkan kebijakan pembatasan impor terhadap produk Indonesia, sementara AS juga dapat memperketat tarif impor untuk barang-barang yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini dapat memengaruhi sektor ekspor Indonesia, terutama komoditas seperti kelapa sawit, tekstil, dan elektronik.

Kedua, perang dagang ini dapat menyebabkan ketidakpastian dalam harga komoditas global. Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara, minyak sawit, dan logam. Ketegangan antara AS dan China dapat memengaruhi permintaan global, menyebabkan harga komoditas yang tidak stabil dan dapat berdampak buruk pada perekonomian Indonesia yang bergantung pada sektor ini.

Ketiga, perang dagang yang melibatkan China dan AS dapat menyebabkan gangguan pada rantai pasokan global, yang juga berdampak pada Indonesia. Misalnya, kenaikan tarif impor atau hambatan perdagangan bisa mempersulit perusahaan Indonesia dalam memperoleh bahan baku dan komponen yang dibutuhkan untuk produksi barang. Hal ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

Keempat, ketegangan antara AS dan China dapat mempengaruhi arus investasi asing ke Indonesia. Ketidakpastian ekonomi yang dihasilkan oleh perang dagang dapat membuat investor asing lebih berhati-hati dalam menanamkan modal mereka di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penurunan investasi asing dapat memperlambat pertumbuhan sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan manufaktur di Indonesia.

China Perluas Akses Masuk Bebas Visa Untuk 9 Negara

Pada 9 November 2024, Pemerintah Tiongkok mengumumkan kebijakan baru yang memperluas akses masuk bebas visa bagi warga negara dari sembilan negara. Langkah ini merupakan bagian dari upaya Tiongkok untuk meningkatkan hubungan diplomatik dan pariwisata internasional serta menarik lebih banyak wisatawan dan pengusaha ke negara tersebut. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan kunjungan internasional, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat pengaruh Tiongkok di panggung global.

Negara-negara yang mendapatkan akses bebas visa ini termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara serta Eropa. Warga negara dari negara-negara ini kini dapat memasuki Tiongkok tanpa perlu mengajukan visa untuk kunjungan jangka pendek, seperti untuk tujuan pariwisata atau bisnis. Hal ini dipandang sebagai langkah positif dalam memperkuat hubungan ekonomi dan budaya antara Tiongkok dan negara-negara terkait.

Kebijakan bebas visa ini dipandang sebagai upaya strategis Tiongkok untuk memperkuat sektor pariwisata dan meningkatkan kegiatan ekonomi internasional. Dengan mempermudah akses masuk bagi wisatawan asing, Tiongkok berharap dapat menarik lebih banyak pengunjung dari berbagai negara, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata, perdagangan, serta investasi asing. Beberapa analis juga melihat kebijakan ini sebagai bagian dari inisiatif Tiongkok untuk membuka diri lebih lebar dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

Kebijakan baru ini mendapat sambutan positif dari sektor pariwisata dan bisnis di Tiongkok, yang berharap bisa merasakan dampak positif dalam waktu dekat. Namun, beberapa pihak juga mengingatkan perlunya persiapan yang matang, seperti pengelolaan arus wisatawan yang lebih besar dan pengawasan terhadap potensi risiko keamanan. Meski demikian, kebijakan ini diperkirakan akan menjadi langkah penting dalam mempererat hubungan Tiongkok dengan negara-negara mitra internasional.

China Ikut Beri Selamat Donald Trump Menang Pilpres AS 2024

Pada 7 November 2024, China secara resmi memberikan ucapan selamat kepada Donald Trump setelah kemenangan mantan Presiden AS itu dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat 2024. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun hubungan antara kedua negara kerap tegang, Beijing tetap menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan Washington, terlebih dengan adanya perubahan kepemimpinan yang signifikan di AS.

Pemerintah China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri mengungkapkan harapan agar hubungan bilateral antara China dan Amerika Serikat dapat berkembang lebih baik di bawah kepemimpinan Donald Trump yang baru. “Kami berharap kedua negara dapat bekerja sama dalam menciptakan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran global,” kata juru bicara tersebut dalam pernyataannya. Ucapan ini menunjukkan upaya China untuk meredakan ketegangan yang pernah terjadi selama masa jabatan Trump sebelumnya.

Hubungan antara China dan Amerika Serikat selama kepemimpinan Donald Trump sebelumnya diwarnai oleh ketegangan perdagangan, perselisihan terkait kebijakan teknologi, serta isu-isu geopolitik lainnya. Trump dikenal dengan kebijakan proteksionisnya, termasuk tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari China. Meskipun demikian, beberapa analisis menunjukkan bahwa kemenangan Trump bisa berpotensi mengarah pada perbaikan atau bahkan eskalasi hubungan antara kedua negara, tergantung pada kebijakan luar negeri yang akan diterapkan.

Beberapa pengamat internasional berpendapat bahwa dengan terpilihnya Trump, Amerika Serikat akan kembali mengedepankan kebijakan “America First,” yang dapat berdampak pada ketegangan dengan negara-negara besar, termasuk China. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kemenangan Trump dapat membuka peluang baru untuk dialog dan kesepakatan perdagangan antara kedua negara. Mengingat pentingnya hubungan AS-China bagi ekonomi global, banyak yang berharap hubungan kedua negara dapat ditangani dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas.

Kemenangan Trump juga memunculkan berbagai reaksi dari negara-negara lain. Beberapa negara besar, terutama sekutu tradisional AS di Eropa, memberikan ucapan selamat yang lebih hati-hati, sementara negara-negara lain, seperti China, menunjukkan sikap yang lebih diplomatis dengan harapan dapat menjaga stabilitas ekonomi dan politik global. Meskipun demikian, kemenangan Trump tetap menarik perhatian dunia, karena akan memengaruhi kebijakan luar negeri dan perdagangan internasional dalam beberapa tahun ke depan.

Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2024 disambut oleh berbagai negara dengan ucapan selamat, termasuk China. Meskipun hubungan AS-China sebelumnya penuh dengan ketegangan, Beijing memilih untuk mendekati pemerintahan Trump dengan harapan dapat memperbaiki hubungan dan mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Bagaimana kebijakan luar negeri Trump di masa jabatan kedua akan memengaruhi dinamika global, khususnya dengan China, akan terus menjadi fokus perhatian dunia internasional.

Kronologi RI Daftar BRICS & Menakar Kekuatan Baru Geng Rusia-China

Pada 26 Oktober 2024, Indonesia resmi mendaftar sebagai anggota baru BRICS, kelompok negara yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Keputusan ini menandai langkah strategis Indonesia untuk memperkuat posisinya di panggung internasional dan memperluas kerjasama ekonomi dengan negara-negara besar. Langkah ini juga mencerminkan perubahan dinamika geopolitik global.

Proses pendaftaran Indonesia ke BRICS dimulai dengan serangkaian diskusi diplomatik yang intensif. Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan kepada negara-negara anggota BRICS, mengedepankan potensi kontribusi Indonesia dalam memperkuat kerjasama di bidang ekonomi dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam forum internasional, terutama dalam kerangka kerja sama yang mencakup negara-negara berkembang.

Keanggotaan Indonesia di BRICS diharapkan dapat memberikan akses yang lebih baik ke pasar global dan menarik investasi asing. Dalam konteks ini, BRICS berfungsi sebagai platform untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dengan dukungan dari anggota lainnya, Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat perekonomian domestik dan meningkatkan daya saing di pasar global.

Di sisi lain, penguatan BRICS juga dapat dilihat sebagai tantangan bagi negara-negara Barat. Keterlibatan Indonesia dalam BRICS menandakan pergeseran kekuatan menuju aliansi yang lebih kuat antara Rusia dan China, yang berpotensi mengubah tatanan geopolitik yang ada. Ini mengindikasikan bahwa negara-negara berkembang mulai mengambil peran lebih besar dalam membentuk arah kebijakan global, yang mungkin berdampak pada keseimbangan kekuatan internasional.

Sebagai penutup, keanggotaan Indonesia dalam BRICS merupakan langkah signifikan dalam memperkuat posisinya di arena internasional. Dengan bergabung dalam aliansi ini, Indonesia tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk berkolaborasi dengan negara-negara besar, tetapi juga dapat berkontribusi pada perkembangan ekonomi global. Masyarakat diharapkan untuk mendukung langkah ini, demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.