Tag Archives: Amerika Serikat

Gelombang Protes di Denmark, Warga Tolak Campur Tangan AS di Greenland

Ratusan warga berkumpul di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kopenhagen pada Sabtu (29/3) untuk memprotes kebijakan pemerintahan Donald Trump terhadap Greenland. Para demonstran mengecam pernyataan terbaru Wakil Presiden AS, JD Vance, yang menyinggung kepentingan strategis Amerika di wilayah Arktik tersebut. Aksi ini terjadi sehari setelah kunjungan Vance dan delegasi AS ke Pangkalan Luar Angkasa Pituffik, yang sebelumnya dikenal sebagai Pangkalan Udara Thule, di barat laut Greenland.

Dalam kunjungannya, Vance mengkritik pengelolaan Denmark atas Greenland dan memberikan sinyal bahwa AS memiliki kepentingan besar di kawasan itu. Pernyataan ini memicu gelombang kemarahan di Denmark dan Greenland, dengan demonstran membawa spanduk bertuliskan “Greenland bukan untuk dijual” dan “Mundur AS”. Warga menuduh AS berusaha mencampuri urusan Greenland dan memperingatkan segala bentuk upaya pencaplokan wilayah semi-otonom tersebut.

Mogens Lykketoft, mantan Menteri Luar Negeri Denmark yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Majelis Umum PBB, turut berbicara dalam aksi tersebut. Ia menyerukan agar komunitas internasional menolak retorika AS dan membawa isu ini ke PBB. Menurutnya, mayoritas negara akan menentang langkah Amerika terhadap Greenland. Lykketoft juga mendorong masyarakat Denmark dan Greenland untuk menggalang dukungan dari warga AS yang menolak rencana pencaplokan tersebut.

Di kota Aarhus, aksi serupa juga berlangsung, dengan warga turun ke jalan untuk menunjukkan solidaritas terhadap Greenland. Pulau terbesar di dunia ini telah menjadi bagian dari Kerajaan Denmark sejak abad ke-18 dan memperoleh hak pemerintahan sendiri pada tahun 1979. Greenland memiliki sumber daya mineral yang melimpah serta posisi strategis di antara Samudra Arktik dan Atlantik, menjadikannya wilayah yang sangat berharga. Meskipun demikian, baik pemerintah Denmark maupun Greenland telah dengan tegas menolak segala usulan penjualan wilayah tersebut. Sebuah survei yang dilakukan pada Januari menunjukkan bahwa 85 persen warga Greenland menentang gagasan bergabung dengan AS.

Trump Hentikan Operasi VOA, Karyawan Tak Bisa Bekerja

Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan dunia jurnalistik dengan membekukan pendanaan untuk lembaga penyiaran dan media pemerintah, termasuk Voice of America (VOA). Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan efisiensi besar-besaran yang terus diperluas oleh pemerintahannya.

Akibat keputusan ini, ratusan jurnalis dari berbagai media yang didanai pemerintah terpaksa cuti paksa, menyebabkan terhentinya sebagian besar operasional di media-media tersebut.

Media Pemerintah Lumpuh, Jurnalis Dipaksa Keluar dari Kantor

Keputusan ini berdampak pada sejumlah media lain yang dikelola pemerintah, termasuk Radio Free Asia dan Radio Free Europe. Para jurnalis menerima email pemberitahuan yang menginstruksikan mereka untuk tidak memasuki kantor serta mengembalikan kartu pers dan peralatan kerja yang telah diberikan.

Pada hari Jumat, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang memasukkan US Agency for Global Media (USAGM)—badan yang mengawasi media-media tersebut—ke dalam daftar lembaga yang dianggap tidak lagi dibutuhkan oleh pemerintah federal.

Pihak Gedung Putih menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa “uang pajak masyarakat tidak lagi digunakan untuk propaganda radikal.” Langkah ini mencerminkan perubahan drastis dalam kebijakan pemerintahan AS terhadap media yang sebelumnya berperan penting dalam menyebarkan pengaruh Amerika ke seluruh dunia.

Dampak Besar pada Media yang Berperan di Kancah Internasional

Selama puluhan tahun, VOA dan media pemerintah AS lainnya telah menjadi alat untuk menandingi propaganda dari Rusia dan China. Namun, dengan terhentinya pendanaan, peran strategis mereka kini terancam.

Dalam sebuah unggahan di media sosial, Direktur VOA, Michael Abramowitz, membenarkan bahwa ia termasuk di antara 1.300 karyawan yang terkena dampak kebijakan ini.

“VOA memang membutuhkan reformasi, dan kami telah bergerak ke arah itu. Namun, keputusan ini membuat VOA tidak dapat menjalankan misinya yang sangat penting,” ungkapnya.

Abramowitz menambahkan bahwa VOA memiliki jaringan penyiaran dalam 48 bahasa yang mampu menjangkau 360 juta orang di seluruh dunia setiap minggunya.

Salah satu pegawai VOA, yang tidak ingin disebutkan namanya, menyebut pengumuman ini datang secara tiba-tiba, membuat para jurnalis bingung apakah mereka masih bisa melanjutkan pekerjaan mereka atau tidak.

“Keputusan ini benar-benar menunjukkan betapa kacau dan tidak siapnya proses ini. Kami hanya bisa berasumsi siaran kami dibatalkan, tetapi tidak ada pemberitahuan resmi,” ujarnya.

“Hadiah Besar bagi Musuh-Musuh Amerika”

Presiden Radio Free Europe/Radio Liberty, Stephen Capus, menganggap pemotongan anggaran ini sebagai keuntungan besar bagi negara-negara yang selama ini menjadi rival Amerika Serikat.

“Ayatollah Iran, pemimpin Partai Komunis China, serta para otokrat di Moskow dan Minsk pasti akan merayakan kehancuran Radio Free Europe setelah 75 tahun berdiri,” tegas Capus dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, seorang pegawai Radio Free Asia menyatakan bahwa dampak kebijakan ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tetapi juga menyangkut keselamatan jurnalis yang bekerja di negara-negara berisiko tinggi.

“Kami memiliki reporter yang bekerja secara rahasia di negara-negara dengan sistem pemerintahan otoriter. Tanpa perlindungan dari lembaga media ini, mereka kini khawatir akan keselamatan mereka sendiri,” katanya.

Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pada staf yang bekerja di AS dengan visa kerja, karena jika mereka kehilangan pekerjaan, mereka berisiko dideportasi.

Protes dari Organisasi Kebebasan Pers

Keputusan Trump ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk organisasi advokasi Reporters Without Borders.

Kelompok tersebut menyatakan bahwa langkah ini “mengancam kebebasan pers di seluruh dunia dan merusak sejarah panjang AS dalam mendukung arus informasi yang bebas.”

Dengan pemotongan dana ini, masa depan media yang didanai pemerintah AS menjadi tidak pasti. Kebijakan ini bukan hanya menghentikan aktivitas jurnalisme yang telah berlangsung selama puluhan tahun, tetapi juga berpotensi melemahkan pengaruh AS di kancah internasional.

Kunjungan Wamenlu Rusia ke Korea Utara di Tengah Wacana Gencatan Senjata Perang Ukraina

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Andrey Rudenko, melakukan kunjungan ke Korea Utara di tengah pembahasan proposal gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina yang diusulkan oleh Amerika Serikat. Menurut laporan Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) pada Sabtu, delegasi Rusia yang dipimpin oleh Rudenko tiba di Pyongyang sehari sebelumnya.

Kunjungan ini merupakan kali pertama pejabat tinggi Rusia mengunjungi Korea Utara sejak Juni tahun lalu, ketika Presiden Vladimir Putin bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dalam pertemuan tingkat tinggi. Meskipun agenda pertemuan Rudenko belum diungkap secara rinci, banyak pihak menduga bahwa Moskow ingin menyampaikan sikapnya terhadap proposal gencatan senjata dari AS serta membahas kemungkinan pengiriman tambahan tentara Korea Utara untuk mendukung operasi militer Rusia di Ukraina.

Awal pekan ini, Amerika Serikat dan Ukraina mencapai kesepakatan untuk mengupayakan gencatan senjata sementara selama 30 hari guna meredakan konflik yang telah berlangsung sejak 2022. Namun, di tengah inisiatif ini, Korea Utara tetap menunjukkan dukungannya terhadap Rusia. Sejak Oktober 2024, Korea Utara dikabarkan telah mengirim ribuan tentaranya untuk membantu pasukan Rusia dalam pertempuran melawan Ukraina.

Badan intelijen Korea Selatan melaporkan bulan lalu bahwa Korea Utara kemungkinan telah mengirim lebih banyak pasukan ke Rusia setelah sebelumnya mengerahkan sekitar 11.000 tentaranya tahun lalu. Pejabat militer Korea Selatan juga mengklaim telah mendeteksi indikasi adanya lebih dari seribu personel tambahan yang dikirim ke Rusia tahun ini.

Kunjungan Rudenko ke Pyongyang semakin menegaskan hubungan erat antara Moskow dan Pyongyang di tengah ketegangan geopolitik global. Sementara dunia menanti perkembangan terkait proposal gencatan senjata, kerja sama militer antara Rusia dan Korea Utara tetap menjadi sorotan utama di kancah internasional.

Gegara Trump, Warga Kanada Kompak Tinggalkan Produk Amerika

Kanada kini tengah dilanda sentimen anti-Amerika setelah Presiden Donald Trump memberlakukan tarif perdagangan yang tinggi sejak ia dilantik pada Januari lalu. Kebijakan ini telah memicu reaksi keras dari warga Kanada, dengan banyak yang menyerukan boikot produk asal Amerika Serikat.

Setelah tarif perdagangan resmi diterapkan, berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa hingga pengusaha, mulai mengganti barang-barang yang biasanya diimpor dari AS dengan produk lokal atau alternatif lain. Sebagai contoh, warga Kanada kini memilih mengganti tomat dari California dengan tomat asal Italia, atau daging pepperoni buatan Ohio dengan produk lokal dari Ontario dan Quebec. Bahkan, minuman kaleng seperti Coca-Cola pun digantikan dengan air soda yang dimaniskan dengan sirup maple khas Kanada.

Salah satu contoh nyata gerakan ini adalah yang dilakukan oleh Graham Palmateer, pemilik restoran pizza di Toronto. Ia memilih untuk mengganti bahan-bahan pembuatan pizzanya yang sebelumnya diimpor dari AS dengan produk lokal Kanada. “Pada satu titik, saya merasa sudah cukup. Saya harus melakukan ini,” ujar Palmateer.

Gerakan boikot ini sebenarnya cukup langka di Kanada, sebuah negara yang terkenal dengan sikap sopan warganya dan cenderung menghindari konfrontasi. Namun, pernyataan Trump yang menyebut Kanada sebagai “negara bagian ke-51” dan ancamannya untuk mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk Kanada telah membangkitkan rasa tidak puas yang mendalam di kalangan masyarakat Kanada.

Bukan hanya soal produk, kebijakan ini juga mempengaruhi sektor pariwisata. Banyak warga Kanada yang membatalkan rencana liburan ke AS sebagai bentuk protes. Bahkan, dalam sebuah pertandingan hoki es antara Kanada dan AS, ketegangan geopolitik sangat terasa dengan adanya insiden saling lempar pukulan antar pemain dari kedua negara.

Selain itu, gerakan boikot juga terlihat dalam kegiatan sehari-hari. Dylan Lobo, seorang warga Toronto, meluncurkan gerakan “Made in Canada” di media sosial sebagai respons terhadap ancaman tarif Trump. Gerakan ini semakin mendapat dukungan setelah meningkatnya ketidakpuasan terhadap kebijakan AS.

“Kami, sebagai orang Kanada, tidak suka mencari masalah, tetapi ini adalah serangan terhadap kami,” kata Lobo.

Warga Kanada lainnya, seperti John Liedtke dari Windsor, Ontario, juga mengekspresikan rasa kesalnya. “Kami marah, kecewa, dan kesal. Saya tahu beberapa orang yang bahkan berkata mereka tidak akan pernah ke AS lagi,” ungkap Liedtke.

Tak hanya itu, warga Kanada juga mengubah kebiasaan belanja mereka. Nikki Gauthier, seorang perawat pensiunan dari St. Catharine’s, Ontario, mengaku merasa marah mendengar tentang tarif yang menurutnya “tidak adil dan tidak beralasan.” Ia pun membatalkan langganannya di platform belanja online Amazon dan beralih ke platform dari China, Temu.

Untuk merespons kebijakan tersebut, pemerintah Kanada, termasuk Perdana Menteri Ontario Doug Ford, segera mengambil langkah balasan. Ford menginstruksikan toko minuman keras milik pemerintah untuk menarik semua produk AS, mulai dari anggur hingga wiski. Selain itu, Ontario juga memberlakukan tarif 25% pada ekspor listrik ke negara bagian AS seperti Minnesota, Michigan, dan New York.

Dengan berbagai respons yang terus berkembang, Kanada kini tengah menghadapi dampak nyata dari kebijakan tarif Trump. Meskipun hubungan ekonomi antara kedua negara sangat erat, dengan perdagangan bilateral yang mencapai lebih dari $760 miliar, masyarakat Kanada semakin memperlihatkan keteguhan dalam mendukung produk lokal dan menentang kebijakan yang mereka anggap merugikan negara mereka.

AS Lakukan Langkah Berani, Negosiasi Langsung dengan Hamas Terungkap

Amerika Serikat (AS) mengambil langkah yang tidak biasa dengan mengadakan negosiasi langsung secara rahasia dengan Hamas untuk membebaskan sejumlah warga AS yang disandera di Gaza. Langkah ini menjadi sebuah perubahan besar dalam kebijakan luar negeri AS, yang selama ini menghindari hubungan langsung dengan Hamas, kelompok yang telah terdaftar sebagai organisasi teroris oleh Departemen Luar Negeri AS sejak 1997. Menurut laporan Reuters pada Rabu (5/3/2025), utusan khusus AS untuk urusan sandera, Adam Boehler, telah melakukan pertemuan dengan perwakilan Hamas di Doha, Qatar, dalam beberapa pekan terakhir.

Namun, pertemuan ini menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang mewakili Hamas dalam pembicaraan tersebut. Meskipun demikian, Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Boehler diberi wewenang untuk berkomunikasi langsung dengan Hamas dalam upaya pembebasan sandera.

Sebelumnya, AS selalu menggunakan negara ketiga sebagai perantara dalam pembebasan sandera, seperti Qatar dan Mesir, tanpa melakukan kontak langsung dengan Hamas. Meskipun begitu, dengan negosiasi langsung ini, AS mengubah pendekatan tersebut, yang menambah dimensi baru dalam usaha pembebasan sandera dari tangan kelompok tersebut.

Di sisi lain, Presiden AS, Donald Trump, mengeluarkan peringatan keras terhadap Hamas melalui unggahan di media sosial. Trump menuntut agar semua sandera, termasuk yang sudah meninggal, segera dibebaskan. Ia juga menyampaikan ancaman tegas, “Bebaskan semua sandera sekarang juga, atau kalian akan HABIS!” Trump menegaskan bahwa ia telah mengirimkan bantuan yang dibutuhkan oleh Israel untuk menyelesaikan masalah ini, bahkan dengan mengatakan bahwa tidak ada anggota Hamas yang akan selamat jika mereka tidak mengikuti perintahnya.

Pernyataan keras tersebut langsung mendapat reaksi dari Hamas, yang mengecam ancaman Trump dan menganggap AS sebagai mitra dalam kejahatan terhadap rakyat Palestina. Di sisi lain, Israel, yang terlibat dalam pembicaraan ini, belum memberikan pernyataan jelas mengenai apakah mereka mendukung langkah AS dalam berkomunikasi langsung dengan Hamas.

Salah satu tujuan utama dari negosiasi ini adalah membebaskan Edan Alexander, seorang warga AS yang diyakini sebagai satu-satunya sandera AS yang masih hidup yang ditahan oleh Hamas. Keberadaan Alexander sebelumnya sempat terlihat dalam sebuah video yang dipublikasikan oleh Hamas pada November 2024.

Selain itu, perundingan ini juga menjadi bagian dari upaya untuk menyelesaikan masalah sandera secara lebih luas. Diharapkan ada kesepakatan yang lebih besar yang mencakup pembebasan sandera yang tersisa dan kemungkinan gencatan senjata jangka panjang, seperti yang sudah tercapai sejak 19 Januari 2025. Gencatan senjata ini mencakup pertukaran sandera dan tahanan, namun masih ada beberapa sandera yang belum dibebaskan.

Negosiasi ini menunjukkan langkah berani AS dalam upaya menyelesaikan konflik ini, meskipun situasi di Gaza tetap penuh tantangan dan ketegangan yang belum bisa diprediksi ke depannya.

Anggota Partai Demokrat Dikeluarkan Setelah Menghina Trump Selama Pidato Kenegaraan

Pada Selasa malam, 4 Maret 2025, Sidang Gabungan Kongres Amerika Serikat di Gedung Capitol, Washington DC, berlangsung dengan penuh ketegangan setelah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS dari Partai Demokrat, Al Green, diusir dari ruang sidang. Peristiwa ini terjadi setelah Green mengejek Presiden Donald Trump saat pidato kenegaraan pertamanya setelah menjabat kembali.

Presiden Trump, yang baru saja dilantik kembali pada 20 Januari 2025, memasuki ruang sidang pada sekitar pukul 21.15 waktu setempat. Sesaat setelah tiba, Trump memberikan gestur khasnya dengan mengepalkan tangan dan disambut tepuk tangan meriah dari sebagian besar penonton di ruang sidang.

Namun, sambutan tersebut tidak sepenuhnya positif. Beberapa anggota oposisi langsung melontarkan ejekan kepada Trump, termasuk seorang anggota DPR, Al Green. Green, yang berasal dari Texas, terlihat menunjuk-nunjuk Trump dengan ekspresi provokatif, yang langsung menarik perhatian. Sebuah laporan dari kantor berita AFP menampilkan foto yang menunjukkan aksi Green tersebut.

Sementara beberapa peserta lainnya memberikan tepuk tangan kepada Green, banyak pula yang mengecam tindakannya. Ketegangan semakin memuncak ketika Ketua DPR AS, Mike Johnson, menginstruksikan agar mereka yang dianggap melanggar kesopanan segera dikeluarkan dari ruang sidang. Tidak lama kemudian, Johnson memerintahkan agar Al Green diusir dari Sidang Gabungan Kongres. Seorang sersan pun segera menuntun Green keluar dari ruangan.

Pidato Trump dan Rencana “Membangun Kembali Amerika”

Pidato yang disampaikan Trump pada malam itu adalah yang pertama kalinya sejak ia kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Dalam pidato tersebut, Trump diperkirakan akan mengungkapkan berbagai rencana besar untuk memajukan negara dan mengembalikan kejayaan “Negeri Paman Sam.” Trump, yang dikenal dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya, menyatakan bahwa “impian Amerika tidak akan pernah bisa dihentikan,” menambahkan bahwa periode perubahan radikal baru saja dimulai.

Namun, insiden yang melibatkan Al Green ini menunjukkan bahwa ketegangan politik di Washington DC masih sangat terasa, dengan perselisihan yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif. Kejadian ini menjadi bukti jelas bahwa perpecahan di antara partai politik di AS terus berlanjut, meskipun Presiden Trump sudah kembali menjabat.

Donald Trump Akan Cabut Sanksi AS pada Rusia? Keputusan Mengejutkan!

Pemerintahan Presiden Donald Trump dikabarkan tengah menyusun langkah untuk mencabut sejumlah sanksi yang selama ini diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia. Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi Trump dalam membangun kembali hubungan diplomatik dengan Moskow serta mendorong upaya perdamaian di Ukraina. Informasi tersebut disampaikan oleh seorang pejabat AS serta sumber yang mengetahui kebijakan tersebut kepada Reuters, Selasa (4/3/2025).

Menurut sumber tersebut, Gedung Putih telah menginstruksikan Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan untuk menyusun daftar sanksi yang dapat dicabut atau dilonggarkan. Daftar tersebut nantinya akan menjadi bahan diskusi dalam pertemuan antara pejabat AS dan Rusia dalam beberapa hari ke depan. Tujuan utama pembicaraan ini adalah meningkatkan kerja sama diplomatik dan ekonomi antara kedua negara.

Laporan juga menyebutkan bahwa kantor urusan sanksi tengah menyusun proposal terkait pencabutan sanksi terhadap beberapa individu dan entitas tertentu, termasuk beberapa oligarki Rusia. Permintaan resmi dari Gedung Putih untuk menyusun dokumen tersebut menunjukkan keseriusan Trump dan para penasihatnya dalam mempertimbangkan kebijakan pelonggaran sanksi ini.

Belum Jelas Imbalan yang Diminta AS dari Rusia

Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai syarat yang akan diajukan AS kepada Rusia sebagai imbalan atas pencabutan sanksi tersebut. Pihak Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, maupun Kedutaan Besar Rusia di Washington belum memberikan komentar resmi terkait rencana ini.

Sebelumnya, Kremlin menggambarkan hubungan antara AS dan Rusia berada di titik terendah di bawah pemerintahan Joe Biden. Kebijakan Biden yang mendukung Ukraina melalui bantuan militer serta sanksi ekonomi terhadap Rusia memperburuk ketegangan antara kedua negara. Namun, sejak kembali menjabat sebagai Presiden AS, Trump berupaya mengubah arah kebijakan tersebut.

Langkah awal pendekatan ini terlihat dari komunikasi langsung antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 12 Februari lalu, yang kemudian disusul dengan pertemuan antara pejabat kedua negara di Arab Saudi dan Turki.

Dinamika Kebijakan Trump terhadap Rusia

Sikap Trump terhadap Rusia mengalami perubahan dalam beberapa bulan terakhir. Pada Januari, ia sempat mengancam akan memperketat sanksi terhadap Moskow jika Putin tidak menunjukkan itikad baik untuk menghentikan perang di Ukraina. Namun, baru-baru ini, pejabat Gedung Putih mulai mengindikasikan kemungkinan relaksasi sanksi.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam wawancaranya dengan Bloomberg Television pada 20 Februari, menyebut bahwa Rusia berpeluang mendapatkan keringanan sanksi tergantung pada sikapnya dalam negosiasi damai. Sementara itu, pada 26 Februari, Trump sendiri mengungkapkan kepada awak media bahwa pelonggaran sanksi terhadap Rusia “bisa saja terjadi di masa depan.”

Kemungkinan Kerja Sama Ekonomi dengan Rusia

Selain mempertimbangkan pencabutan sanksi, pemerintahan Trump juga tengah menjajaki kemungkinan kerja sama ekonomi dengan Rusia. Gedung Putih dikabarkan telah meminta rencana pelonggaran sanksi sebelum Trump memperpanjang status darurat terkait situasi di Ukraina. Status ini memberikan kewenangan kepada AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap individu dan aset tertentu yang terlibat dalam perang Rusia-Ukraina.

Meskipun belum jelas sanksi mana yang akan dicabut lebih dulu, ada kemungkinan Trump akan mengeluarkan perintah eksekutif guna memulai proses tersebut. Namun, beberapa pencabutan sanksi tertentu masih membutuhkan persetujuan dari Kongres.

Sejak invasi ke Ukraina pada 2022, Rusia mampu beradaptasi dengan membangun ekonomi berbasis industri pertahanan dan peningkatan belanja militer. Namun, sejumlah pakar menilai ekonomi Rusia tetap rentan dan memerlukan pelonggaran sanksi Barat untuk meringankan tekanan yang dihadapinya.

Kremlin sendiri telah menyatakan kesiapan untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan AS. Bahkan, pekan lalu, pemerintah Rusia mengungkapkan bahwa mereka memiliki cadangan logam tanah jarang dalam jumlah besar dan terbuka untuk kesepakatan eksplorasi bersama dengan AS.

Di sisi lain, Trump juga berusaha mencapai kesepakatan dengan Ukraina terkait sumber daya mineralnya. Namun, negosiasi ini menemui jalan buntu setelah perdebatan sengit antara Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, dalam pertemuan di Gedung Putih pada Jumat lalu.

Dengan berkembangnya wacana pencabutan sanksi ini, dunia kini menanti bagaimana langkah Trump dalam membangun kembali hubungan dengan Rusia, serta bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi dinamika geopolitik global, khususnya terkait konflik di Ukraina.

Rusia Tak Sepakat dengan Usulan Gencatan Senjata AS untuk Ukraina

Tiga tahun setelah ribuan tentara Rusia melintasi perbatasan Ukraina atas perintah Presiden Vladimir Putin, Moskwa menegaskan bahwa hanya solusi damai jangka panjang yang dapat mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama ini. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan RIA, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, menanggapi dorongan pihak Amerika untuk gencatan senjata sementara, dan mengingatkan bahwa langkah tersebut tidak akan mampu membawa penyelesaian permanen.

Ryabkov dengan tegas menyatakan, “Kami menyadari adanya keinginan dari pihak Amerika untuk segera mencapai gencatan senjata. Namun, sebuah gencatan senjata tanpa adanya upaya penyelesaian jangka panjang hanya akan membuka pintu bagi kembalinya pertempuran dan melanjutkan konflik yang dapat menimbulkan konsekuensi jauh lebih serius, termasuk dalam hubungan antara Rusia dan Amerika. Kami tidak menginginkan hal tersebut.” Dia menekankan bahwa dunia membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menyelesaikan masalah ini, dengan fokus pada mengatasi akar penyebab yang telah memicu ketegangan di wilayah Ukraina dan sekitarnya.

Ryabkov juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pembicaraan antara Rusia dan Amerika yang berlangsung di Riyadh minggu lalu. Pembicaraan yang seharusnya bertujuan untuk memulihkan hubungan bilateral serta membahas solusi untuk Ukraina, menurutnya, tidak memberi jawaban yang jelas tentang rencana perdamaian yang pernah diusulkan oleh Presiden Donald Trump.

Dalam kesempatan tersebut, Moskwa juga kembali menegaskan alasan di balik “operasi militer khusus” mereka di Ukraina, yang disebut sebagai langkah yang harus diambil sebagai respons terhadap ekspansi NATO yang dianggap semakin tidak terkendali ke arah timur. Sementara itu, di pihak Ukraina dan negara-negara Barat, tindakan Rusia tetap dikecam sebagai agresi brutal dengan gaya kolonial yang tidak dapat dibenarkan.

Ryabkov tak lupa menanggapi tuduhan terkait pelanggaran hak-hak penduduk berbahasa Rusia di Ukraina. Meskipun tuduhan tersebut telah dibantah keras oleh Kyiv, Rusia tetap mengkritik penanganan isu-isu tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari narasi yang tidak adil terhadap negara mereka. Rusia terus berpendapat bahwa solusi yang lebih menyeluruh dan berjangka panjanglah yang menjadi kunci untuk mengakhiri ketegangan yang terus berlarut-larut ini.

Trump Tuntut Zelensky dan Putin Bersatu untuk Mengakhiri Konflik Ukraina

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Jumat (21/2/2025) menyerukan agar Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin bekerja sama untuk menghentikan konflik yang telah berlangsung selama tiga tahun. Pernyataan ini menandai perubahan sikap Trump, yang sebelumnya sempat mengkritik Zelensky dengan menyebutnya sebagai “diktator” setelah pemimpin Ukraina itu mengungkapkan kekecewaannya karena negaranya tak dilibatkan dalam perundingan antara pejabat AS dan Rusia beberapa waktu lalu.

“Presiden Putin dan Presiden Zelensky harus bersatu. Karena kita semua tahu bahwa yang kita inginkan adalah menghentikan pertumpahan darah yang telah menelan jutaan nyawa,” ujar Trump kepada wartawan di Oval Office, Gedung Putih.

Dorongan Trump untuk Kesepakatan Sumber Daya Alam Ukraina

Dalam pernyataan lebih lanjut, Trump mengungkapkan harapannya agar Kyiv segera menyepakati kerja sama yang memungkinkan Amerika Serikat mendapatkan akses terhadap deposit mineral Ukraina. “Mereka sangat berani dalam banyak hal yang bisa dibayangkan, tapi kita telah menghabiskan begitu banyak sumber daya di tempat-tempat yang sangat jauh,” ucapnya, merujuk pada dukungan finansial AS untuk Ukraina.

Menurut laporan AFP pada Sabtu (22/2/2025), Trump ingin perusahaan-perusahaan Amerika diberikan hak khusus untuk mengeksplorasi kekayaan alam Ukraina, sebagai bentuk kompensasi atas bantuan miliaran dolar yang telah dikucurkan AS selama pemerintahan Joe Biden. Sebagai gantinya, Ukraina berharap mendapatkan jaminan keamanan dari Washington sebelum menyetujui perjanjian tersebut.

Namun, Zelensky dengan tegas menolak usulan itu dan menekankan bahwa negaranya menginginkan kesepakatan yang adil. Persoalan ini pun menjadi salah satu faktor yang memperburuk hubungan antara Kyiv dan Washington. Trump bahkan kembali menyebut Zelensky sebagai “diktator tanpa pemilu” dan keliru menyalahkan Ukraina sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pecahnya perang.

Pandangan Trump tentang Rusia dan Ukraina

Pada hari yang sama, Trump kembali menyoroti ketidakseimbangan posisi dalam negosiasi antara Rusia dan Ukraina. Ia menegaskan bahwa pembicaraan dengan Putin berjalan lancar, sementara diskusi dengan Kyiv tidak begitu positif. “Saya telah melakukan percakapan yang sangat baik dengan Putin, tetapi tidak demikian dengan Ukraina. Mereka tidak memiliki kekuatan tawar-menawar,” ujar Trump di Gedung Putih.

Lebih lanjut, Trump kembali menolak untuk menyalahkan Rusia atas invasi yang dimulai pada Februari 2022. Ia berpendapat bahwa Putin tidak berada di bawah tekanan untuk mencapai kesepakatan damai. “Dia tidak harus membuat kesepakatan, karena jika dia mau, dia bisa mengambil seluruh negara itu,” katanya.

Reaksi Pemimpin Eropa dan Respons Diplomatik AS

Sikap Trump dalam konflik Rusia-Ukraina turut mengundang respons dari para pemimpin Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, yang dijadwalkan bertemu dengan Trump di Gedung Putih pekan depan, mengkritik pendekatannya terhadap perang ini. Macron secara terbuka menyatakan bahwa ia akan memperingatkan Trump agar tidak bersikap lunak terhadap Putin.

Di sisi lain, dalam langkah diplomatik terbaru, AS mengajukan resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk segera mengakhiri konflik. Namun, teks resolusi tersebut tidak mencantumkan wilayah Ukraina yang saat ini diduduki Rusia sebagai bagian dari kesepakatan.

Usulan ini mendapat sambutan positif dari Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, yang menyebutnya sebagai “langkah ke arah yang baik”. Namun, absennya klausa tentang integritas wilayah Ukraina dalam resolusi tersebut memicu kekhawatiran bahwa AS mungkin mulai mengambil posisi yang lebih lunak terhadap Moskwa dibandingkan sebelumnya.

Sementara upaya diplomasi terus berjalan, pertempuran di medan perang tetap berlangsung sengit. Kedua belah pihak masih berusaha memperkuat posisi mereka, di tengah desakan Trump agar segera dilakukan gencatan senjata.

Dengan dinamika politik yang terus berkembang, pernyataan dan langkah-langkah Trump dalam beberapa pekan ke depan akan menjadi sorotan, terutama terkait bagaimana ia menavigasi hubungan AS dengan Rusia dan Ukraina di tengah perang yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Rusia Dan China Bahas Nasib Hubungan Mereka Di Era Presiden Trump

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping mengadakan pembicaraan melalui video yang berlangsung lebih dari satu setengah jam. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas prospek hubungan bilateral di tengah pemerintahan baru Donald Trump di Amerika Serikat, yang dilantik sehari sebelumnya.

Pertemuan ini terjadi dalam konteks ketegangan global yang meningkat, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Sejak saat itu, hubungan antara Rusia dan China semakin erat, dengan China menjadi salah satu mitra utama Rusia dalam sektor energi dan teknologi. Ini menunjukkan bahwa kedua negara berusaha untuk memperkuat aliansi mereka sebagai respons terhadap tekanan internasional, terutama dari negara-negara Barat.

Dalam percakapan tersebut, Xi Jinping menekankan pentingnya memperdalam kerja sama strategis antara kedua negara untuk menghadapi ketidakpastian global. Ia menyatakan harapannya untuk membawa hubungan Rusia-China ke tingkat yang lebih tinggi dan menekankan perlunya saling mendukung dalam menghadapi tantangan internasional. Ini mencerminkan komitmen kedua pemimpin untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan Eurasia.

Sementara itu, Putin menyambut baik niat Trump untuk membuka dialog dengan Moskow. Meskipun tidak secara langsung menyebut nama Trump selama pertemuan, keduanya mengisyaratkan bahwa mereka siap untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan jika ada kesempatan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketegangan, kedua negara tetap terbuka untuk berkomunikasi dengan pemerintahan baru AS.

Data menunjukkan bahwa perdagangan antara Rusia dan China mencapai rekor tertinggi sebesar $240 miliar pada tahun 2023, meningkat lebih dari 64% sejak 2021. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sanksi internasional terhadap Rusia, hubungan ekonomi antara kedua negara terus berkembang pesat. Ini mencerminkan bagaimana kedua negara dapat saling mendukung dalam situasi sulit.

Dengan adanya pembicaraan ini, semua pihak berharap agar hubungan Rusia-China dapat terus berkembang meskipun ada tantangan dari luar. Diharapkan bahwa kerjasama yang erat antara kedua negara akan memberikan stabilitas di kawasan dan membantu mengatasi isu-isu global yang kompleks. Keberhasilan dalam mempertahankan hubungan ini akan menjadi indikator penting bagi kekuatan aliansi strategis di masa depan.