Pada 26 Desember 2024, kebijakan pengurangan biomassa yang diterapkan oleh Pemerintah Korea Selatan mulai menuai berbagai reaksi dari kalangan ilmuwan, industri energi, dan masyarakat umum. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi perubahan iklim, tetapi juga memunculkan dampak yang perlu dicermati lebih lanjut terkait sektor energi dan keberlanjutan lingkungan.
Pemerintah Korea Selatan telah memutuskan untuk mengurangi penggunaan biomassa sebagai sumber energi terbarukan sebagai bagian dari komitmennya terhadap perjanjian iklim internasional. Biomassa, yang digunakan untuk pembangkit listrik dan pemanas, telah menjadi sumber energi penting, namun dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa pembakaran biomassa dapat menghasilkan emisi yang lebih tinggi dari yang diharapkan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk mengurangi ketergantungan pada energi ini demi mencapai target pengurangan emisi karbon yang lebih ambisius.
Salah satu dampak langsung dari pengurangan biomassa ini adalah ketergantungan industri energi Korea Selatan terhadap sumber energi alternatif, seperti angin, matahari, dan hidroelektrik. Beberapa perusahaan energi yang sebelumnya bergantung pada biomassa kini menghadapi tantangan besar untuk beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Meskipun pemerintah memberikan insentif untuk transisi ke energi terbarukan, beberapa pihak mengkhawatirkan dampak jangka pendeknya terhadap stabilitas pasokan energi dan harga energi domestik.
Di sisi lain, pengurangan biomassa juga dianggap sebagai langkah positif untuk keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Biomassa seringkali berasal dari bahan organik yang dapat memperburuk deforestasi dan degradasi lahan jika tidak dikelola dengan benar. Dengan mengurangi penggunaannya, Korea Selatan berharap dapat mengurangi tekanan terhadap ekosistem alam dan mempercepat peralihan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, seperti energi matahari dan angin yang lebih bersih.Namun, kebijakan ini juga menghadapi kritik dari kelompok-kelompok yang khawatir akan dampaknya terhadap sektor pertanian dan industri biomassa. Beberapa aktivis lingkungan menyatakan bahwa transisi energi harus dilakukan dengan lebih hati-hati agar tidak menyebabkan gangguan sosial atau merugikan masyarakat yang bergantung pada produksi biomassa sebagai sumber penghidupan. Oleh karena itu, perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan progresif dalam transisi energi menjadi sorotan utama.
Secara keseluruhan, kebijakan pengurangan biomassa yang diterapkan oleh Korea Selatan memberikan tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, kebijakan ini dapat mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon, tetapi di sisi lain, pemerintah perlu memitigasi dampak sosial dan ekonomi yang muncul selama proses perubahan ini. Pemantauan yang lebih ketat terhadap implementasi kebijakan ini akan sangat penting untuk memastikan bahwa transisi energi tersebut berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.